REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Ikatan Dai Indonesia (IKADI) KH Dr Ahmad Kusyairi Suhail menyampaikan pandangan soal kegiatan standardisasi dai yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Dia mengatakan, kegiatan tersebut baik untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi dai.
"Saya sendiri, alhamdulillah telah mengikutinya dan menjadi peserta angkatan ke-3. Sebab, dakwah yang hakikatnya ingin membangun peradaban dengan mengajak kepada kebaikan adalah masyru' kabir wa 'azhim (proyek besar, agung dan mulia)," kata dia kepada Republika.co.id, Selasa (29/11/2022).
Kusyairi menuturkan, berdakwah itu sesungguhnya mengajak bukan mengejek, membina bukan menghina, merangkul bukan memukul, dan membela bukan mencela. Ini semua masuk dalam makna hikmah dan bashirah sebagaimana firman Allah dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 125:
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk."
Allah SWT juga berfirman, "Katakanlah (Muhammad), "Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan yakin, Mahasuci Allah, dan aku tidak termasuk orang-orang musyrik." (QS Yusuf ayat 108)
Menurut Kusyairi, dalam program standardisasi dai MUI, dibekali materi wawasan-wawasan kebangsaan sehingga seorang dai memahami Fiqh al-Waqi' atau fikih realitas, yang terkait kedisinian dan ke-Indonesia-an. Standardisasi itu juga mengedepankan dakwa Islam rahmatan lil 'alamin. Ini sejalan dengan perintah Allah SWT untuk selalu menyiapkan dan meningkatkan bekal, terlebih bagi seorang dai.
Allah SWT berfirman, "....Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat!" (QS Al-Baqarah ayat 197)
Bagi IKADI, terang Kusyairi, kompetensi para dai-daiyah harus terus selalu ditingkatkan. Apalagi zaman terus berkembang. Situasi dan kondisi masyarakat baik regional, nasional maupun global juga terus terjadi banyak perubahan.
"Maka seorang dai harus terus bisa menyesuaikan dengan berbagai macam perkembangan dan memanfaatkan berbagai sarana dan media untuk merealisasikan misi sucinya," tuturnya.
Karena itu, dia menyampaikan, di internal IKADI telah dilakukan program Sertifikasi Dai IKADI sejak dulu, dan Pelatihan Mubaligh IKADI. Ini merupakan program unggulan yang terus berjalan dan selalu disesuaikan dan ditingkatkan.
Kusyairi juga menjelaskan, ada beberapa bekal yang harus dimiliki seorang dai. Pertama, penguatan pemahaman dan wawasan agama (Fiqh al-Ahkam) agar memahami apa itu makruf, dan apa itu mungkar. Dengan demikian, seorang dai dapat melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar dengan baik dan benar. "Kalau tidak paham, malah bisa terjadi sebaliknya, amar munkar nahi ma'rif. Tentu ini berbahaya dan menyesatkan," tuturnya.
Kedua, adalah menguatkan wawasan kekinian dan kedisinian (Fiqh al-Waqi'). Ketiga, yaitu mampu menggunakan dan memanfaatkan sarana dan media dakwah di era digitalisasi dan kemajuan teknologi saat ini. Atau bisa juga dibantu oleh tim yang menguasai hal tersebut. Untuk itu, dai juga harus memiliki bekal ini. Sebagaimana ungkapan Arab populer, bahwa orang yang tidak punya apa-apa, tidak akan pernah bisa memberi.
Kusyairi juga menambahkan, masyarakat di era sekarang ini membutuhkan dai-daiyah yang mampu memberi materi dakwah solutif yang dapat mudah diamalkan dalam keseharian dan bisa mengangkat harkat martabat hidupnya. Juga, dai-daiyah yang mampu melahirkan masyarakat yang semangat melakukan kebaikan dan perbaikan.
"Tampil sebagai pribadi yang sholih li nafsihi (punya nilai kebergunaan bagi dirinya) dan naafi'un lighoiri (bermanfaat bagi orang lain, umat, bangsa dan negaranya)," paparnya.