Rabu 16 Nov 2022 12:31 WIB

Sekum Muhammadiyah: Pemilu Sering Kali Dihinggapi Penyakit Politik Oligarki

Muhammadiyah membahas isu suksesi kepemimpinan.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
 Sekum Muhammadiyah: Pemilu Seringkali Dihinggapi Penyakit Politik Oligarki. Foto:  Logo Muhammadiyah.
Foto: Antara
Sekum Muhammadiyah: Pemilu Seringkali Dihinggapi Penyakit Politik Oligarki. Foto: Logo Muhammadiyah.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sekretaris Umum (Sekum) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Abdul Mu'ti, menyampaikan, Muhammadiyah dan isu-isu strategis keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan universal salah satunya membahas tentang suksesi kepemimpinan 2024. Hal tersebut disampaikannya dalam Diskusi Media Road To Muktamar bertema "Suksesi Kepemimpinan 2024" di Aula Lantai 6 Menara At Tanwir Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Selasa (15/11/2022).

Prof Mu'ti mengatakan, bangsa Indonesia sesuai konstitusi setiap lima tahun sekali menggelar suksesi kepemimpinan. Yaitu Pemilu 2024 yang akan diselenggarakan secara serentak, di antaranya pemilu presiden-wakil presiden, DPR RI, dan DPD RI.

Baca Juga

"Praktik normalisasi praktik politik uang, oligarki partai, pragmatisme politik, candidate centered, dan pembelahan politik menjadikan pemilu lima tahunnya seringkali tidak menjadi ajang untuk melipatgandakan politik yang berorientasi pada kerja, pengkhidmatan, dan politik harapan (politics of hopes) namun lebih dihinggapi penyakit politik oligarki dan haus kekuasaan," kata Prof Mu'ti di Menara At Tanwir Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Selasa (15/11/2022).

Prof Mu'ti mengatakan, bersamaan dengan itu tumbuh politik ketakutan (politics of fear) akan konflik akibat polarisasi politik, politik identitas, sentimen SARA, dan politik penghukuman (pemerasan). Tumbuh populisme yang hanya mengejar popularitas dan dukungan rakyat secara luas tanpa dibarengi dengan jiwa autentik mencintai dan memperjuangkan nasib rakyat yang mayoritas masih jauh dari hidup adil, makmur, sejahtera, dan maju.

Ia mengingatkan, bangsa Indonesia sudah mengalami pemilu sebanyak lima kali pasca reformasi 1998. Namun, politik elektoral lebih sering merisikokan kohesivitas sosio-budaya yang disebabkan politik sentimentil yang destruktif dan keengganan menghargai keragaman pilihan sebagai keniscayaan.

"Serentaknya dan kompleksnya sistem pemilu seharusnya juga menuntut banyak kalangan yang mencintai negeri ini untuk memikirkan dan mendorong kepemimpinan yang memiliki platform visi kebangsaan dan visi kenegaraan yang kuat, visi penghargaan terhadap kemajemukan dan persatuan dalam jiwa Bhinneka Tunggal Ika, visi menyatukan, visi memakmurkan, dan visi memajukan Indonesia," ujar Prof Mu'ti.

Ia menegaskan, para pemimpin eksekutif dan legislatif seharusnya didorong untuk memiliki orientasi pada nilai Pancasila, agama, dan kepribadian bangsa yang mendalam dan autentik. Para pemimpin yang terpilih dan diamanahi menjadi pengelola negara ini haruslah sosok-sosok negarawan sejati yang lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri, kroni, dinasti, dan kepentingan sesaat lainnya.

Prof Mu'ti menambahkan, para pemimpin yang dipilih juga harus mampu membebaskan dari kooptasi berbagai kekuatan asing maupun domestik, yang terus-menerus bekerja membelokkan negara dari fungsi dan orientasi kepatuhan konstitusional (constitutional obedience) dan keluhuran nilai Pancasila.

"Para pemimpin yang dihasilkan oleh Pemilu 2024 juga diharapkan memiliki prinsip politik untuk melepaskan dan tidak untuk melanggengkan kekuasaan," jelas Prof Mu'ti.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement