Senin 14 Nov 2022 21:02 WIB

Kepemimpinan Asketik dalam Muhammadiyah

Jangan meminta jabatan, namun ketika diberi amanah jabatan tidak boleh menolak.

Pengunjung memotret foto pendiri dan ketua umum PP Muhammadiyah di Museum Muhammadiyah, Bantul, Yogyakarta, Senin (14/11/2022). Museum Muhammadiyah yang terletak di kampus Universitas Ahmad Dahlan akhirnya diresmikan jelang Muktamar ke-48 Muhammadiyah. Di dalam museum ini, pengunjung bisa melihat sejarah perjalanan Muhammadiyah yang penyajiannya dipadukan dengan teknologi canggih. Sehingga selain untuk rekreasi, juga bisa untuk sarana edukasi pengunjung. Kepemimpinan Asketik dalam Muhammadiyah
Foto:

Justru karena pentingnya persoalan kepemimpinan itu maka Rasulullah SAW mengingatkan tentang kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Hanya orang-orang yang terpercaya dan dipercaya, serta dinilai punya kemampuan saja yang layak diangkat menjadi seorang pemimpin. Orang-orang yang dinilai lemah dan tidak cakap tidak boleh dipaksakan menduduki suatu jabatan.

Dahulu Abu Dzar pernah menyampaikan maksud dirinya untuk diangkat dalam suatu jabatan, sebagaimana dialognya dengan Rasulullah: Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat). Abu Dzar berkata, “Kemudian Beliau (Rasulullah) menepuk bahuku dengan tangan,” Kemudian Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan Hak dan melaksanakan tugas dengan benar.” (HR.Muslim)

Begitulah tuntunan Nabi mengenai kepemimpinan dalam Islam. Perspektif Islam mengenai kepemimpinan menempatkannya dalam bingkai nilai-nilai kezuhudan atau nilai-nilai asketik yang merupakan ruh dalam ajaran Islam. Memandang kepemimpinan sebagai bagian dari pengejawantahan nilai-nilai luhur ajaran agama yang menuntunkan dalam persoalan jabatan dan kepemimpinan harus diperoleh semata-mata untuk menggapai keridhaan Allah SWT. Bukan diniatkan untuk kehormatan diri apalagi keluarga atau kelompoknya, apalagi untuk tujuan-tujuan pragmatis lainnya seperti kekuasaan, materi dan kebanggaan status sosial.

Kepemimpinan yang terintegrasi dengan nilai-nilai asketik ini pulalah yang mengilhami Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bi Abi Thalib mau dan berani mengemban amanah kekhalifahan. Juga yang mendasari Umar bin Abdul Azis, salah seorang dari Khalifah Bani Umayyah, memegang amanah kepemimpinan dengan sangat hati-hati karena khawatir kalau-kalau ia tidak bisa bersikap adil, tidak bisa jujur dan tidak bisa melayani yang dipimpinnya dengan segenap jiwa dan raga.

Kepemimpinan di Muhammadiyah

Menjelang Muktamar Muhammadiyah ke 48 di Surakarta, banyak yang bertanya siapa calon terkuat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah? Pertanyaan ini wajar karena umumnya kalau ada ormas besar akan melaksanakan perhelatan pergantian pimpinan, dinamika suksesi calon pimpinan selalu menghangat. Muncul bursa calon mana yang kuat dan mana yang tidak kuat, mana yang didukung pemerintah mana yang tidak. Terkadang ada yang bikin kelompok dukungan dan kasak kusuk kesana kemari. Dan segala macamnya.

Namun, bagi yang memahami kultur kepemimpinan di Muhammadiyah yang mengedepankan kolektif kolegial (ko-ko), maka tarik menarik untuk memperebutkan jabatan di Muhammadiyah nyaris tidak pernah terjadi. Dalam beberapa pergantian kepemimpinan persyarikatan di banyak tingkatan terkadang malah semua tidak mau menjabat sebagai ketua umum. Saling menyorongkan, yang satu menyorongkan yang satu dan yang lainnya menyorongkan yang lainnya lagi.

Tradisi yang dibangun dan telah menjadi kesadaran kolektif di internal Muhammadiyah adalah jangan meminta-minta jabatan namun ketika diberi amanah jabatan seseorang tidak boleh menolak. Model kepemimpinan seperti inilah yang membuat Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang kuat, mandiri dan bebas dari intervensi manapun. Menghindari ambisi yang berlebihan untuk satu jabatan menjadikan para pimpinan Muhammadiyah adalah orang-orang yang ikhlas  berjuang dalam menggerakkan roda dakwah Islam karena semata-mata berharap ridha Allah SWT.

Mekanisme pergantian pengurus Muhammadiyah memang tidak untuk memilih Ketua tetapi memilih Pimpinan Muhammadiyah. Pada tingkat Pimpinan Pusat, Pimpinan Muhammadiyah  itu terdiri dari 13 orang. Mereka dipilih oleh anggota muktamar (muktamirin) secara langsung dari calon-calon tetap yang sudah disahkan. Jadi setiap anggota muktamar memilih 13 orang dari calon tetap menjadi pimpinan persyarikatan. Untuk menentukan siapa calon ketua umum, maka 13 orang terpilih tersebut yang menentukan. Tidak harus suara terbanyak yang ditetapkan, semua anggota formatur terpilih berpeluang menjadi ketua umum.

Begitulah sistem yang sudah menjadi ketetapan persyarikatan dalam pergantian kepemimpinan. Sistem ini telah mengarungi beberapa periode kepemimpinan dan mampu menghindarkan Muhammadiyah dari perpecahan dan perselisihan. Sistem ini juga telah membawa Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang istiqomah dalam pengamalan ajaran islam mengenai praktek kepemimpinan.  Mengutip pernyataan Abdul Mukti, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Kepemimpinan di Muhammadiyah ditentukan oleh Sistem dan bukan ditentukan oleh Sinten (orang)”. Sistem yang yang dibangun itu dilandaskan kepada ajaran dan nilai-nilai Islam.

Wallahu a’lam bishawab.

sumber : https://suaramuhammadiyah.id/2022/11/08/kepemimpinan-asketik-dalam-muhammadiyah/
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement