Kamis 08 Sep 2022 17:33 WIB

Tantangan dalam Mencetak Ulama Perempuan

Masih ada tantangan dalam mencetak ulama perempuan di Tanah Air.

Rep: Fuji Eka Permana/ Red: Agung Sasongko
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Dedhez Anggara
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyampaikan bahwa ulama perempuan sudah mulai ada di mana-mana dan telah diakui negara, majelis ulama dan masyarakat. Namun masih ada tantangan dalam mencetak ulama perempuan di Tanah Air.

Direktur Fahmina Institute sekaligus anggota Steering Committee (SC) KUPI II, Rosidin, mengatakan, tantangan yang paling berat untuk mencetak ulama perempuan adalah kesadaran. Kesadaran ulama perempuan ada yang terlihat progresif seperti yang diharapkan, yakni mau merespon isu-isu yang dianggap penting sebagai persoalan kemanusiaan.

Baca Juga

"Tapi ada juga ulama perempuan yang butuh waktu, jadi kita masih punya harapan, ada beberapa ulama yang dia punya pengaruh secara sosial dan keumatan, tapi perspektifnya belum sama dengan kita, tapi kita tidak menutup diri terhadap model ulama perempuan yang seperti ini," kata Rosidin kepada Republika saat konferensi pers KUPI II di Jakarta, Kamis (8/9/2022)

Ia menjelaskan, tantangan berikutnya untuk mencetak ulama perempuan adalah support system atau sistem pendukung. Jadi bisa saja perempuan-perempuan secara individu sudah mulai terbuka pandangan keagamaan dalam merespon persoalan sosial. Tapi lingkungan di sekitarnya belum tentu mendukung terhadap pandangannya.

 

Menurut Rosidin, sistem pendukung bisa dimulai dari keluarga, lingkungan dan komunitas. Artinya KUPI tidak hanya berhenti pada penguatan ulama perempuan. "Tapi kita juga harus memikirkan lingkungan atau sistem pendukung agar perempuan punya keleluasaan yang cukup bagi mereka yakni ulama perempuan untuk bisa berkiprah lebih jauh lagi," ujarnya.

Di tempat yang sama, Direktur Perhimpunan Rahima (pusat pendidikan dan informasi Islam serta hak-hak perempuan), Pera Sopariyanti, mengatakan, ada tantangan mencetak ulama perempuan. Ketika Rahima melakukan pendidikan kepada ulama perempuan, salah satu kesulitannya mencari ulama perempuan yang memiliki kualifikasi membaca kitab kuning.

Ia menjelaskan, pengalaman Rahima dalam pendidikan pengkaderan ulama perempuan sejak tahun 2005 sampai sekarang. Sampai sekarang sudah ada lima angkatan ulama perempuan yang ada di enam provinsi. Yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Aceh.

"Kami sekarang membuka atau melakukan pengkaderan ulama perempuan muda, salah satu tantangannya itu, salah satu yang menjadi syarat bisa mengikuti pendidikan ulama perempuan itu selain dia mempunya basis pondok pesantren, majelis taklim, komunitas, dia juga bisa dan mampu membaca serta memahami kitab kuning," jelas Pera.

Untuk diketahui, KUPI II bertema “Menegukan Peran Ulama Perempuan untuk Peradaban yang Berkeadilan” rencananya akan diselenggarakan di Semarang dan Jepara, Jawa Tengah pada 23-26 November 2022. Rencananya akan dihadiri peserta dari 20 negara.

Musyawarah Keagamaan KUPI akan membahas dan memutuskan fatwa tentang lima isu krusial. Di antaranya, peran perempuan dalam merawat bangsa dari ekstremisme. Pengelolaan dan pengolahan sampah rumah tangga untuk keberlanjutan lingkungan. Perlindungan perempuan dari bahaya pemaksaan perkawinan. Perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan. Perlindungan perempuan dari bahaya tindak pemotongan dan perlukaan genitalia perempuan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement