Kamis 08 Sep 2022 08:13 WIB

Memuliakan Buku

Ilmu adalah cahaya dan wudhu juga cahaya.

Santri dari kalangan anak punk membaca kitab saat kajian di Pondok Tasawuf Underground, Jumat (30/7).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Santri dari kalangan anak punk membaca kitab saat kajian di Pondok Tasawuf Underground, Jumat (30/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh  Syamsul Yakin

 

Menurut Syaikh al-Zarnuji dalam  kitab Taklim Muta'allim,  salah satu cara memuliakan ilmu adalah memuliakan buku. Oleh karena itu, lanjut Syaikh al-Zarnuji, dianjurkan kepada penuntut ilmu agar tidak mengambil buku kecuali dalam keadaan memiliki wudhu. Hal ini dibenarkanoleh Syaikh Syamsul Aimmah, "Sungguh aku berhasil memperoleh ilmu lantaran aku tidak pernah menyentuh buku kecuali dalam keadaan punya wudhu."

Syaikh al-Zarnuji bercerita bahwa ada seorang ulama yang setiap malam menekuni berbagai bidang ilmu sakit perut. Saking seriusnya belajar, dia rela wudhu berulang-ulang hingga tujuh belas kali. Alasannya, dia tidak mau belajar dalam keadaan tidak punya wudhu.

Pertanyaannya, apakah kaitan ilmu dengan wudhu? Menurut Syaikh al-Zarnuji, ilmu adalah cahaya dan wudhu juga cahaya. Jadi dengan cahaya wudhu cahaya ilmu jadi kian cemerlang.

Secara praksis yang termasuk memuliakan ilmu adalah tidak menjulurkan kaki ke arah buku. Bahkan Syaikh al-Zarnuji mengajarkan adab menyusun buku. Baginya, buku tafsir harus diletakkan di atas buku lainnya. Termasuk, bagi penuntut ilmu hendaknya tidak meletakkan barang apapun di atas buku. Termasuk meletakkan botol tinta di atas buku, oleh seorang ulama dikatakan dalam  bahasa Persia, burnayabi  atau ilmu tidak berbuah".

Selanjutnya, secara praksis, Abu Hanifah pernah melihat seorang pelajar yang menulis secara berantakan, lalu beliau menasihati, "Jangan buat berantakan tulisanmu, sebab jika kamu hidup akan menyesal (maksudnya jika kamu tua matamu akan sulit membacanya) dan jika kamu mati akan dimaki (akibat tulisan yang tidak bisa dibaca orang)."

Terkait dengan ini, Alquran  juga menganjurkan untuk menulis dengan rapi apabila salah seorang di antara kita berutang, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari utangnya." (QS. al-Baqarah/2: 282).

Menurut pengarang Tafsir Jalalain,   tujuan mencatat utang dengan rapi adalah untuk memperkukuh  dan menghilangkan pertikaian pada suatu saat nanti.

Terakhir, Syaikh al-Zarnuji memberi wejangan agar tidak ada warna merah yang tertulis di dalam buku. Alasannya, merah itu simbol filosof bukan simbol ulama salaf. Terkait hal ini, diceritakan oleh Ibnu Abbas, dia berkata, “Aku  dilarang untuk memakai pakaian berwarna merah, cincin emas, dan membaca al-Qur’an ketika rukuk.” (HR Nasa’i).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement