Ahad 28 Aug 2022 10:44 WIB

Kitab Ulama Lebanon yang Pernah Ditakuti dan Dilarang Belanda di Indonesia  

Ulama Lebanon Syekh Musthafa al-Ghalayain memberi nasihat untuk generasi muda Muslim

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Ulama Lebanon Syekh Musthafa al-Ghalayain memberi nasihat untuk generasi muda Muslim dalam kitabnya Izhatun Nasyi’in
Foto: Dok Istimewa
Ulama Lebanon Syekh Musthafa al-Ghalayain memberi nasihat untuk generasi muda Muslim dalam kitabnya Izhatun Nasyi’in

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kaum muda memiliki peran penting dalam mengisi kemerdekaan. Namun, dalam berjuang tak sedikit kaum muda yang justru kehilangan arah, apalagi di era globalisasi sekarang ini. Karena itu, mereka membutuhkan nasihat dari para ulama seperti pada zaman kemerdekaan dulu.

Buku berjudul “Hidup Seringkali Tidak Baik Baik Saja, Tapi Kita Bisa Menghadapinya” ini diterjemahkan dari kitab Izhatun Nasyi’in karya Syekh Musthafa al-Ghalayain (1885-1944 M). Syekh Musthafa adalah salah seorang ulama, wartawan, dan sastrawan dunia yang memilki cukup pengaruh di Indonesia.

Baca Juga

Syekh Musthafa al-Ghalayain adalah seorang ulama Lebanon yang lahir di Beirut pda 1885 M dan wafat paada 1944 M. Nama lengkapnya adalah Syekh Musthafa bin Muhammad bin Salim bin Muhyidin bin Musthafa al-Ghalayain.

Dia menempuh pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar, Mesir. Selama di sana, dia berguru kepada seorang ulama yang berpengaruh di dunia, Syekh Muhammad Abduh (1849-1905 M). Pemikiran Syekh Musthafa banyak dipengaruhi gurunya ini. Hal itu tergambar dalam kitab ini.

Selain itu, Syekh Musthafa juga banyak dipengaruhi oleh Imam al-Ghazali (1058-1111 M). Misalnya, dalam kitab kitab Izhatun Nasyi’in ini, pemikirannya sesuai dengan pemikiran Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyahal Walad, khususnya tentang pendidikan anak.

Kitab karangan Syekh Musthafa yang satu ini dapat membangkitkan semangat perjuangan dan perlawanan kaum muda. Bahkan, buku ini juga menjadi salah satu inspirasi pendiri Nadlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari dalam mencestuskan Resolusi Jihad yang memantik perlawanan 10 November 1945 di Surabaya.

Resolusi Jihad tersebut berisi instruksi kepada para santri dan kiai untuk membulatkan tekad dalam melakukan jihad membela Tanah Air. Kiai Hasyim Asy’ari saat itu berijtihad bahwa aksi melawan penjajah hukumnya fardhu ain.

Muatan kitab ini secara lantang mampu membangkitkan jiwa patriotisme kaum muda. Karena itu, kitab ini pernah diboikot oleh pemerintah kolonial Belanda untuk diajarkan para kiai di pesantren. Saat itu, para kiai mengkaji kitab ini secara sembunyi-sembunyi. Hingga akhirnya, banyak pejuang yang muncul dari pesantren.

Kitab Izhatun Nasyi’in sampai sekarang masih banyak dikaji secara konsisten di berbagai pesantren Indonesia. Semua itu tak terlepas dari jasa para kiai dulu yang belajar di Timur Tengah dan memperkenalkan kitab ini kepada masyarakat Indonesia.      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement