REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baru-baru ini Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan pernikahan beda agama pasangan Islam dan Kristen. Permohonan tersebut tertuang pada Penetapan Nomor 916/Pdt.P/2022/PN Sby. Pemohon adalah RA yang adalah penganut agama Islam dan EDS pemeluk agama Kristen.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Fahrur Rozi atau akrab disapa Gus Fahrur mengatakan, PBNU berpedoman pada syariat Islam dan juga ketentuan Undang-Undang pernikahan. Gus Fahrur mengatakan, ajaran Islam melarang perkawinan beda agama sebagaimana berlandaskan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat 221.
Pada sisi lain, Gus Fahrur mengatakan dalam Undang-Undang Pernikahan juga telah ditegaskan pernikahan dianggap sah jika dilakukan sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Gus Fahrur menjelaskan pasangan berbeda agama dan berbeda keyakinan bertentangan dengan UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1.
"Islam melarang perkawinan beda agama. Pernikahan seiman dan seagama adalah lebih baik dan aman untuk menjaga keimanan anak cucunya," kata Gus Fahrur kepada Republika.co.id pada Kamis (23/6/2022).
Menurut Gus Fahrur, pernikahan beda agama akan menyulitkan terciptanya keluarga yang harmonis. Justru pernikahan beda agama akan berdampak buruk pada hubungan anggota keluarga terlebih lagi pada perkembangan mental anak.
"Akan menyulitkan jika terjadi kondisi pasangan (misalnya) papanya Muslim dan ibunya Kristen. Yang mungkin terjadi adalah hari Ahad anak-anak diajak sekolah minggu oleh mamanya (ibadah ke gereja) dan hari Jumat diajak ke masjid oleh papanya. Saat anaknya ke gereja, sang papa tidak tenang dan saat anak ke masjid sang mama gelisah. Tentu akan sulit sekali disatukan karena orang tua berbeda dan perkembangan mental anak juga menjadi kurang baik," katanya.
Gus Fahrur mengatakan, mengacu pada pasal 10 Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975 dinyatakan perkawinan baru sah jika dilakukan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Maka dari itu, Gus Fahrur mengatakan UU 1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama sehingga perkawinan antaragama tidak dapat dilakukan.