REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Menurut penelitian baru, sebagian besar korban pelecehan rasis yang ditargetkan terhadap Muslim di Australia adalah wanita yang mengenakan jilbab dengan mayoritas pelaku adalah pria.
Laporan yang dipimpin oleh Dr Derya Iner dari Charles Sturt University, mensurvei hampir 250 insiden fitnah agama dan ras secara online dan offline dari Januari 2018 hingga Desember 2019. Ini mengacu pada data terverifikasi dari Islamophobia Register of Australia, sebuah layanan yang dikelola komunitas yang didirikan pada 2014, menganalisis 138 insiden fisik dan 109 kasus online.
"Wanita hijab, wanita tanpa pendamping dan wanita dengan anak-anak rentan, oleh karena itu, mereka adalah target termudah bagi pelaku pengecut," kata penulis laporan tersebut, dilansir dari laman Daily Mail pada Selasa (15/3/2022).
Dari 103 korban, 85 persen mengenakan hijab, 48 persen sendirian, 15 persen bersama anak-anak, dan 12 persen bersama wanita lain. Para penulis mengatakan hampir dua pertiga (63 persen) dari insiden kekerasan fisik terjadi di ruang publik dan dilakukan oleh laki-laki (74 persen).
"Perilaku kasar terhadap wanita Muslim berhijab juga mencerminkan intoleransi terhadap visibilitas Muslim dan terutama ekspresi iman dan perbedaan wanita melalui jilbab," kata laporan itu.
Laporan yang dirilis pada peringatan ketiga pembantaian Christchurch di Selandia Baru menganalisis bagaimana serangan tersebut menginspirasi pelecehan online yang menargetkan Muslim.
Sebelumnya seorang pria bersenjata nasionalis kulit putih Australia membunuh 51 jamaah Muslim pada Maret 2019 di sebuah masjid Christchurch. Dalam dua pekan setelah serangan teroris, ujaran kebencian online terhadap Muslim di Australia melonjak 65 persen. Sebagian besar dari 109 kasus pelecehan Islamofobia online yang diperiksa terjadi di Facebook (83 persen), sebuah platform populer di kalangan kelompok sayap kanan dan neo-Nazi.
Para penulis melampirkan contoh tangkapan layar pelecehan online. Ini termasuk ancaman pembunuhan, mengatakan partai politik dan pemimpin ekstremis kanan Australia memiliki peran utama dalam menciptakan agenda kebencian online yang direproduksi oleh administrator dan pengikut kelompok sayap kanan.
"Sifat serangan Christchurch dan asal serta efeknya secara online membuktikan bahwa memperlakukan kekerasan online sebagai hal yang kurang nyata adalah ilusi dan tidak membantu," kata Dr Iner.
Dia menyerukan pendekatan holistik untuk menangani diskriminasi rasial dan fitnah agama. "Islamofobia bukanlah masalah 'Muslim' tetapi risiko kohesi sosial. Ini membutuhkan keterlibatan nasional jika Australia ingin menghayati warisan multikulturalnya," laporan itu merekomendasikan.