REPUBLIKA.CO.ID, PARIS — Muslim Prancis harus bersiap untuk tahun-tahun mendatang yang lebih sulit. Hal ini karena kandidat pada pemilu tahun ini, tidak ada satupun calon Presiden yang mampu mewakili suara Muslim di Prancis.
Dilansir dari Middle East Monitor pada Jumat (25/2), Pemilihan Prancis 2022 akan diadakan pada 10 April, dengan lebih dari 40 kandidat dari seluruh Prancis bersaing untuk memimpin negara itu.
Namun, para kandidat terdepan tidak dapat membuktikan jaminan bagi lebih dari 5 juta populasi Muslim Prancis yang telah menyaksikan peningkatan Islamofobia di negara itu selama bertahun-tahun.
Muslim di Prancis sedang berjuang untuk memutuskan siapa yang harus dipilih, dan bahkan apakah itu layak untuk mereka pilih dalam pemilihan mendatang. Ini disebabkan oleh kandidat politik Prancis yang mengekspresikan berbagai derajat Islamofobia dan pandangan rasis secara terbuka yang terus mereka ulangi berkali-kali.
Presiden Prancis saat ini, Emmanuel Macron, mulai berkuasa pada 2017, mewakili Partai La Republique En Marche. Macron pernah bersumpah untuk menjadi Presiden 'untuk semua orang di Prancis' tetapi, sepanjang masa jabatannya, dia mengucilkan Muslim dengan menjadi negara Eropa pertama yang melarang cadar pada 2011.
Macron kemudian mengeluarkan undang-undang yang melarang pemakaian hijab di lingkungan publik tertentu, semuanya dengan kedok sekularisme.
Kebijakan anti-Muslim Macron tidak berhenti di situ. Pada 2020, Macron berpidato mengumumkan bahwa dia akan menindak apa yang dia sebut "separatisme Islam" dan akan melarang imam asing mengajar kelas-kelas Islam di Prancis.
“Islam politik tidak memiliki tempat di Prancis," kata Macron, yang kemudian menyebutkan bagaimana perasaannya bahwa "Islam sedang menghadapi krisis".
Tidak ada keraguan bahwa retorika anti-Muslim yang dibuat oleh Macron dikatakan dalam upaya untuk menarik pemilih sayap kanan dan menenangkan Presiden Reli Nasional, Marine Le Pen.