REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seminar Internasional tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Dihadapi Muslim yang digelar di Istanbul, Turki menyatakan sentimen anti-Muslim yang menjalar di Asia kini berada pada langkah yang mengkhawatirkan. Para pakar dalam seminar yang berlangsung dua hari sejak Rabu (16/2/2022) itu pun menyoroti keprihatinan tentang memburuknya kondisi Muslim di Asia.
India dan Myanmar menjadi dua contoh yang mencolok dari kekerasan terhadap Muslim yang telah dinormalisasi. Kepala Departemen Muslim dan Minoritas di Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Hassan Abdein mengatakan para pemimpin politik di Asia memperburuk masalah sentimen anti-Muslim dengan memberikan pidato-pidato yang menghasut untuk keuntungan pemilu.
Pada seminar tentang Muslim dan hak asasi manusia itu, Abdein mengatakan Asia adalah rumah baru kapitalisme dan meskipun jauh lebih beragam daripada di tempat lain, menampung ratusan orang etnis, Asia menderita populisme elektoral yang gelap, yang disebutnya salah satu efek eksploitatif globalisasi. Di bawah kedok keamanan nasional, kata dia, Muslim menjadi sasaran dan dikriminalisasi di seluruh benua ini.
"Baik di Myanmar dan Sri Lanka, kami melihat satu kelompok tertentu memobilisasi ujaran kebencian," kata Abdein, merujuk pada biksu Buddha yang secara terbuka menyerukan genosida terhadap Muslim, dilansir di TRT World, Sabtu (19/2/2022).
Abdein mengatakan, karena umat Buddha telah menjadi minoritas di anak benua yang didominasi Hindu, mereka telah merekayasa narasi korban untuk memobilisasi populasi Buddha di negara-negara mayoritas Buddha seperti Myanmar dan Sri Lanka. Dia lantas mengajak para peserta yang hadir untuk menemukan cara melawan perang agama ini. Pasalnya, mengabaikan sentimen anti-Muslim hanya akan memberi agresor (penyerang) lebih banyak ruang dan kesempatan.
"Kita perlu memuji kepemimpinan yang mengambil langkah nyata setelah Serangan Christchurch," ujar Abdein.