REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Pergeseran media, dari media lama menjadi media baru, yang menciptakan kerentanan dalam aspek faktualitas dan kredibilitas informasi, termasuk konten keagamaan.
Peralihan ini juga menghadirkan tantangan baru, yakni bagaimana mempertahankan reliabilitas konten agama pada media.
Menurut Husein Ja’far Al Hadar atau akrab disapa Habib Ja’far pada dasarnya manusia lahir sebagai pribadi yang moderat, tapi yang menjadi masalah adalah banyak dari mereka yang terpapar konten media yang salah, sehingga niat belajar agama yang awalnya positif menjadi ‘tersesat’.
“Dan orang yang tadinya moderat tadi bisa saja berubah menjadi konservatif karena paparan media yang konstan tadi,” ujar pendakwah lulusan Magister Tafsir Hadits UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Masalah yang mendasari fenomena ini, kata Habib Ja’far, adalah karena adanya jarak antara popularitas dengan otoritas keagamaan, atau biasa disebut dengan fenomena hilangnya kepakaran.
Media sosial, kata dia, membangun jarak antara pemegang otoritas dengan popularitas, sehingga para pakar Islam moderat kalah saing dengan konten-konten konservatif yang membanjiri sosial media.
“Mereka yang memiliki otoritas biasanya enggan membangun popularitas, atau tidak mampu menjadi populer karena banyak tantangan untuk mencapai popularitas,” ujarnya.
Dia mengatakan problem lain adalah komunitas pakar ini tidak dapat mengimbangi perubahan sistem penggunaan media sosial, mulai dari materi yang disajikan hingga cara penyampaian materi, karena generasi muda lebih menyukai materi yang relate dan dekat dengan mereka, dibandingkan tema-tema berat yang kerap diusung oleh para pakar.
Terkait peran kanal grup di Whatsapp maupun platform lain yang kerap dijadikan sebagai sumber utama pembelajaran ilmu agama, yang kebanyakan justru menyebarkan konten konservatif dan provokatif, Habib Ja’far mengatakan bahwa fakta ini akan sangat rentan karena adanya peran media sebagai echo-chamber (ruang bergema), yang biasanya disalahgunakan untuk menguatkan pemahaman keagaman atau ideologi yang dimiliki seseorang atau suatu kelompok, tanpa memperhatikan kredibilitas dan reabilitasnya.
“Karena grup itu diinisiasi kesamaan ideologi atau pandangan, maka sangat mudah untuk mnenyebarkan informasi hoax, dan ini kembali pada echo chamber dan jelas menjadi tantangan bagi kelompok moderat,” kata dia.
Menurutnya, paham konservatif berbasis pada dua hal, yaitu kebodohan atau tidak memiliki pemahaman keagamaan yang baik. Kedua, yaitu egoisme, dimana seseorang tidak memiliki dasar atau modal keagamaan yang kuat namun sangat mudah terjerumus dengan informasi dan konten keislaman yang belum jelas kebenaran sumbernya.
“Artinya egoisme mereka sangat liar karena tidak didasari dengan pemahaman keagamaan, sehingga keinginan untuk bergabung dalam kegiatan konservatif atau bahkan terorisme sangat mudah muncul,” jelas Habib.