Sebelumnya, ijtima ulama menyepakati 12 poin bahasan, di antaranya makna jihad, makna khilafah dalam konteks NKRI, kriteria penodaan agama, tinjauan pajak bea cukai dan retribusi untuk kepentingan kemaslahatan, panduan pemilu dan pemilukada yang lebih bermaslahat bagi bangsa, dan distribusi lahan untuk pemerataan serta kemaslahatan. Kemudian, hukum pinjaman online, hukum transplantasi rahim, hukum cryptocurrency, penyaluran dana zakat dalam bentuk qardhun hasan, hukum zakat perusahaan, dan hukum zakat saham.
Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari ijtima ulama ini meminta pemerintah mencabut Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Permendikbudistek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Kiai Asrorun mengatakan, selama berjalanya ijtima ulama ke-VIII terjadi permusyawaratan yang saling menguatkan dan mengokohkan. Hal ini wujud dari shillatul fikri atau ketersambungan pemikiran yang terjadi karena pertimbangan kemaslahatan.
Menurutnya, selama berjalannya musyawarah tidak didasarkan kepada kepentingan yang bersifat personal, baik ananiah (egois), hizbiyyah (fanati sempit), dan lainnya. "Ini hal yang patut kita syukuri bahwa musyawarah didasarkan kepada ide, ilmu dan hikmah akan saling menguatkan dan mengukuhkan," ujarnya.
Ia mengungkapkan, kesepakatan sebagai bagian dari wujud komitmen untuk optimalisasi fatwa guna mengoptimalkan kemaslahatan bangsa. Musyawarah sudah dilakukan dan hasil-hasil telah disepakati.
"Dengan hasil ini kita bertawakal kepada Allah mudah-mudahan ini bisa menjadi panduan di dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur," ujar Kiai Asrorun.