Namun demikian, salah seorang pembeli roti, Mava Niyazi, menyangkal menyebut mereka sebagai pengemis. Menurutnya, situasi yang terjadi itu adalah dampak dari pengambilalihan kekuasaan Afghanistan oleh Taliban.
"Orang-orang yang mengantre roti bukanlah pengemis. Dengan pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, banyak orang kehilangan pekerjaan. Mereka yang bekerja tidak dibayar," ujarnya.
Ekonomi negara tersebut telah menderita selama 42 tahun terakhir, dimulai dengan invasi negara oleh bekas Uni Soviet pada 1979, yang memicu perang satu dekade oleh kelompok mujahidin Afghanistan. Kemudian, diikuti oleh perang 20 tahun antara AS dan Taliban yang pemerintahannya digulingkan setelah serangan 9/11.
Karena lebih dari empat dekade ketidakstabilan politik dan ekonomi, negara yang kekurangan uang itu sekarang berada dalam krisis ekonomi yang dahsyat. Banyak penduduknya yang telah menjual aset, mengemis roti bahkan menjual anak mereka dengan kedok pernikahan dini untuk bertahan hidup. PBB memperkirakan sekitar 22,8 juta orang atau lebih dari setengah penduduk Afghanistan akan menghadapi masalah pangan yang parah.