REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengadakan pembicaraan dengan rezim Taliban, otoritas de facto Afghanistan. Pertemuan ini dilakukan untuk membahas tentang hak-hak perempuan.
Amina Mohammed, Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous, serta Asisten Sekretaris Jenderal Departemen Politik, Urusan Pembangunan Perdamaian dan Operasi Perdamaian Khaled Khiari menyelesaikan kunjungan empat harinya ke Afghanistan. Wakil Juru Bicara PBB Farhan Haq mengatakan kunjungan tersebut bertujuan menilai situasi, melibatkan otoritas de facto, dan menggarisbawahi solidaritas PBB dengan rakyat Afghanistan.
“Dalam pertemuan dengan otoritas de facto di Kabul dan Kandahar, delegasi secara langsung menyampaikan peringatan atas keputusan baru-baru yang melarang perempuan bekerja untuk organisasi non-pemerintah nasional dan internasional. Ini sebuah langkah yang merusak pekerjaan banyak organisasi, yang membantu jutaan warga Afghanistan yang rentan," kata Haq, dikutip di Anadolu Agency, Sabtu (21/1/2023).
Rezim Taliban baru-baru ini menutup akses siswa perempuan untuk ke universitas di seluruh negeri, sampai pemberitahuan lebih lanjut. Mereka juga melarang anak perempuan menghadiri sekolah menengah, membatasi kebebasan bergerak perempuan dan anak perempuan, mengecualikan perempuan dari sebagian besar angkatan kerja dan melarang perempuan menggunakan taman, pusat kebugaran, maupun rumah pemandian umum.
Dalam sebuah pernyataan, Amina menyebut pesan yang ia sampaikan sangat jelas. Meski PBB mengakui pengecualian penting yang dibuat, pembatasan ini disebut mengurung masa depan perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
"Keputusan ini seolah mengurung mereka di rumah mereka sendiri, melanggar hak-hak mereka dan merampas layanan komunitas mereka," ujar dia.
Amina menyebut, ambisi kolektif PBB adalah untuk Afghanistan yang makmur, berdamai dengan dirinya sendiri dan tetangganya, serta berada di jalur menuju pembangunan berkelanjutan. Tapi saat ini, ia menilai Afghanistan sedang mengisolasi diri, di tengah krisis kemanusiaan yang mengerikan dan salah satu yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Direktur Eksekutif UN Women Sima Bahous mengatakan telah menyaksikan ketangguhan yang luar biasa. Wanita Afghanistan tidak diragukan lagi menyuarakan keberanian dan penolakan untuk dihapus dari kehidupan publik.
"Mereka akan terus mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak mereka, dan kami terikat kewajiban untuk mendukung mereka dalam melakukannya," katanya.
Ia menyebut apa yang terjadi di Afghanistan adalah krisis hak-hak perempuan yang parah, sekaligus seruan untuk masyarakat internasional. Ini menjadi bukti betapa cepatnya kemajuan hak-hak perempuan selama beberapa dekade dapat dibalik dalam hitungan hari.
UN Women mendukung semua perempuan Afghanistan dan akan terus memperkuat suara mereka untuk mendapatkan kembali semua haknya. Keputusan terbaru yang dikeluarkan oleh otoritas de facto yang melarang perempuan bekerja untuk LSM telah memaksa banyak organisasi bantuan menghentikan operasinya.
"Pengiriman bantuan kemanusiaan yang efektif didasarkan pada prinsip-prinsip yang membutuhkan akses penuh, aman dan tanpa hambatan untuk semua pekerja bantuan, termasuk perempuan,” ujar Amina Mohammed.
Kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 15 Agustus 2021 diikuti oleh gangguan bantuan keuangan internasional, telah meninggalkan negara yang tercabik-cabik itu dalam krisis ekonomi, kemanusiaan dan hak asasi manusia. Perempuan dan anak perempuan telah dirampas haknya, termasuk hak atas pendidikan, serta hilang dari kehidupan publik di bawah Taliban.
Ribuan perempuan sejak itu kehilangan pekerjaan atau dipaksa mengundurkan diri dari lembaga pemerintah dan sektor swasta. Anak perempuan dilarang bersekolah di sekolah menengah dan atas. Banyak perempuan menuntut agar hak mereka dipulihkan dengan turun ke jalan, memprotes dan mengorganisir kampanye.