REPUBLIKA.CO.ID, Berbagai platform media sosial (medsos) telah menghiasi kehidupan masyarakat modern. Medsos dianggap sebagai sarana yang memudahkan untuk berinteraksi dengan banyak orang, mengaktualisasikan diri, membagikan pengalaman atau peristiwa yang dialami, dan lain sebagainya. Namun dalam penggunaannya, sering didapati masyarakat mengenyampingkan ragam etika dan adab saat berkomunikasi melalui medsos.
Pendakwah Prof. Dr. KH. Said Agil Husin Al Munawar menjelaskan sejatinya bagi seseorang dalam menggunakan media tidak boleh menggunakan kata-kata kasar, provokatif, porno, menyinggung atau melecehkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Selain itu dalam etika bermedsos, seseorang juga tidak boleh mengunggah artikel hoaks, menduplikasi artikel, gambar, yang mempunyai hak cipta. Said Agil mengatakan interaksi yang dilakukan di medsos harus menggunakan dan memperhatikan etika di dalam berinteraksi. Hal ini sangat penting agar aktivitas di medsos tidak berdampak buruk pada kehidupan baik langsung maupun tidak langsung.
Menurut dia, besarnya angka pengguna medsos di Tanah Air sejatinya dapat menjadi peluang bagi negara dalam menyongsong kemajuan. Di sisi lain, banyaknya penyalahgunaan medsos yang berdampak buruk bagi kehidupan juga menjadi tantangan. Sebagai contoh, masifnya penyebaran hoaks di medsos, ujaran kebencian, kejahatan cyber, dan pemanfaatan tidak bijak lainnya termasuk unggahan berunsur intoleransi, permusuhan.
"Kita tidak bisa menyalahkan teknologi, karena itu barang mati, tinggal kitanya apakah kita bisa memanfaatkannya dengan baik dia akan menjadi baik, memanfaatkannya tidak baik menjadikan itu juga tidak baik. Maka filternya atau adab dan etikanya itu berada di tangan kita yang menggunakan dan berkomunikasi dengan media sosial ini," kata Said Agil dalam kajian virtual yang diselenggarakan Masjid Raya Bintaro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Said Agil menjelaskan dalam ajaran Islam isyarat tentang etika budaya komunikasi di medsos intinya adalah menggunakan kalimah toyyibah atau kalimat yang baik yang mengandung unsur solidaritas, kooperatif, ekualitas, dalam bingkai menjaga persatuan dan kesatuan atau ukhuwah. Seorang Muslim dapat mengacu pada Alquran dalam menyampaikan bentuk-bentuk komunikasi dalam media sosial.
Di antaranya yaitu dakwah mengajak kepada kebaikan, nasihat atau mauidzah. Dakwah memberi masukan untuk kebaikan, berdialog atau hiwar,beradu argumentasi atau jidal, tadzkir memberi peringatan, tabsyir memberi kabar gembira hingga idholi surur yaitu kalimat atau unggahan untuk menyenangkan hati seseorang. Karena itu, seorang Muslim harus menggunakan perkataan yang mulia (qaulan karima), perkataan yang lemah lembut (qaulan layyinah), perkataan yang benar (qaulan sadida), perkataan yang mudah (qaulan maisura), perkataan yang jelas (qaulan balighah), dan perkataan yang baik (qaulan ma'rufa) saat beraktifitas di media sosial.
Dalam bersosial media, seorang Muslim tidak boleh menyudutkan orang lain, mengklaim kebenaran sendiri. Seorang Muslim harus mampu menyampaikan dengan hikmah, dan melakukan argumentasi dengan bijaksana. Said Agil juga mengingatkan agar Muslim untuk mengedepankan dialog yang baik bila terdapat perbedaan ide atau pandangan dalam media sosial. Sebab itu menurut Prof Said Agil langkah penting yang lebih substatif menanggulangi dampak berkepanjangan teknologi komunikasi melalui jejaring sosial adalah dengan menanamkan etika dan budaya komunikasi di media sosial.
"Etika komunikasi ini menjadi hal yang sangat mendasar dan prinsipil. Karena melalui basis etika ini generasi bangsa akan terkonstruksi, terbangun menjadi generasi yang santun, saling menghormati, merasakan satu dengan yang lainnya,”ujar dia.