Jumat 01 Oct 2021 08:38 WIB

Muslim Assam Terguncang Pascatragedi Penggusuran Mematikan

Polisi India menembaki warga yang memprotes pemindahan paksa.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Keluarga Muslim yang menjadi korban kekerasan etnik di kamp pengungsi Desa Bhot Gaon, Kokrajhar, Assam, India.
Foto:

Isu imigran gelap dari negara tetangga Bangladesh telah mendominasi politik negara bagian timur laut berpenduduk 32 juta jiwa ini selama beberapa dekade. Hampir dua juta orang, baik Hindu maupun Muslim asal Bengali dikeluarkan dari Daftar Warga Nasional (NRC) yang diterbitkan dua tahun lalu.

Namun demikian, BJP, beberapa organisasi lokal dan bahkan pejabat yang sekarang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut mempertanyakan kebenaran dari proses yang panjang dan sulit tersebut. Mereka mengklaim banyak imigran ilegal telah berhasil mendapatkan nama mereka dalam daftar warga negara. Proses tersebut berlanjut menjadi dalam limbo (tempat orang yang terlupakan/telantar) karena reservasi ini.

Sementara itu, Muslim asal Bengali yang tinggal di desa Dhalpur Bagian 1 dan Dhalpur Bagian 3 tempat penggusuran dilakukan mengatakan mereka telah menjadi korban. Penduduk setempat mengatakan banyak dari keluarga ini telah pindah dari distrik lain seperti Nagaon, Barpeta dan Goalpara pada 1970-an dan 1980-an setelah mereka kehilangan tanah mereka karena erosi.

"Keluarga kami pindah ke sini dari Barpeta pada 1982 setelah tanah kami disapu oleh Brahmaputra. Kami sebelumnya di desa tetangga Kira Kara. Dua tahun yang lalu kami pindah ke Dhalpur Bagian 3 setelah rumah kami terbawa ke sungai," kata seorang aktivis setempat, Saddam Hussain.

Penduduk setempat menunjukkan, putaran terbaru penggusuran dimulai pada 20 September 2021, bahkan ketika diskusi tengah berjalan dengan pemerintah dan administratur distrik tentang pemukiman kembali dan rehabilitasi. Menurut Hussain, penduduk setempat disajikan pemberitahuan hanya pada malam sebelumnya dan di pagi hari administratur tiba untuk mengusir mereka.

Menteri Utama Sarma dengan cepat memuji administratur dan polisi untuk mengusir 800 rumah tangga dan menghancurkan empat bangunan agama ilegal. Penduduk setempat mengatakan pada 20 September, pihak berwenang meminta mereka pindah ke tempat di sebelah sungai yang cenderung banjir dan tidak layak untuk tempat tinggal.

"Kedalaman air adalah 15 kaki (4,5 meter) di sana. Bagaimana kami akan tinggal di sana bersama anak-anak kami. Kami akan tersapu," kata Kamaruddin, seorang pekerja upah harian, sembari menangis.

"Tidak ada air untuk diminum, tidak ada pohon. Dalam panas ini, tidak ada air. Kami menggunakan air dari sungai. Apakah pemerintah ingin membunuh kami seperti ini?" ujarnya.

Sementara itu, setelah putaran pertama penggusuran, dua hari kemudian pada 22 September, penduduk desa diberi putaran pemberitahuan selanjutnya di malam hari. "Orang-orang tidur ketika pemberitahuan tiba. Dan di pagi hari, ketika mereka hampir bangun, administratur dan polisi sudah ada di sana," kata Hussain.

Ia mengatakan penduduk setempat marah. Administratur tidak melakukan apa pun untuk merehabilitasi orang-orang yang diusir sebelumnya dan mereka datang lagi untuk mengusir lebih banyak warga.

Baca juga : Anies Berharap Jakarta Bisa Turunkan Emisi Hingga 30 Persen

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement