REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berwakaf semakin mudah pada zaman ini. Jika dahulu dikenal dalam bentuk tanah dan bangunan, bentuk wakaf kini semakin beragam dan lebih produktif, mulai dari wakaf tunai, wakaf saham, hingga wakaf emas.
Emas merupakan salah satu instrumen yang memiliki keunggulan tersendiri. Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Cholil Nafis mengatakan salah satu keunggulan emas nilainya lebih stabil dibandingkan dengan uang yang rentan terhadap inflasi.
“Dari zaman nabi, satu dinar (4,25 gram emas) saat itu bisa dapat satu kambing, sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 3 juta. Harga kambing pun sampai sekarang, ya begitu. Kambing nggak naik, emas juga tidak naik. Jadi (sebenarnya) bukan emas yang naik. Karena rupiah yang turun, emas dianggap naik,” ujarnya dalam webinar Semiloka Wakaf Emas - Kekalkan Amal Tingkatkan Ekonomi Nasional pada awal Juni lalu.
Sejalan dengan itu juga, pakar ekonomi dari Malaysia Prof Dato Dr. Ahamed Kameel Mydin Meera mengatakan saat ini adalah saat yang tepat untuk mengembangkan wakaf emas karena ekonomi global sedang dalam kondisi tidak pasti. Sementara jika Prof Ahamed merujuk pada data Cholil Nafis, harga emas justru naik.
Prof Ahamed menggambarkan jika diimplementasikan dalam wakaf, maka emas dapat ditukar dengan tunai lewat konsep yang dinamakan ar-rahnu. Kemudian hasil tunai inilah yang kemudian akan diproduktifkan.
“Jadi emas itu boleh ditukar dengan tunai, dan uang tunai itu boleh diinvestasikan dalam aset produktif seperti peternakan, pertanian, dan sebagainya. Dan pulangan dari wakaf produktif ini, dapat dibagikan kepada institusi wakaf dan juga para investor,” kata Prof Ahamed.
Sebaliknya jika memang wakaf tunai yang ada cukup banyak, sebagian dapat disimpan dalam bentuk emas. Nilai wakaf tunai yang sudah berubah menjadi emas akan lebih stabil sebab tak terdampak oleh inflasi. Selain itu, emas juga tidak mudah hancur dan memiliki mobilitas yang cukup tinggi.
Untuk mencapai keuntungan ini, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya membutuhkan pengetahuan khusus terhadap emas itu sendiri.
“Misalnya saya kasih Anda dua batang emas, bisa tidak Anda membedakan mana emas 22 karat dan emas 24 karat? Butuh pengetahuan untuk itu,” kata Prof Ahamed.
Emas juga masih menjadi subjek dari peraturan syariah serta transaksinya juga terkadang berada di bawah peraturan lokal ataupun internasional.