Ahad 05 Sep 2021 14:49 WIB

Wartawan Perempuan di Kabul Perlahan Tergerus

Media menyarankan jurnalis perempuan mereka tinggal di rumah.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
Wartawan Perempuan di Kabul Perlahan Tergerus. Pejuang Taliban berjaga-jaga di pos pemeriksaan dekat kedutaan AS yang sebelumnya diawaki oleh pasukan Amerika, di Kabul, Afghanistan, Selasa, 17 Agustus 2021. Taliban menyatakan amnesti di seluruh Afghanistan dan mendesak perempuan untuk bergabung dengan pemerintah mereka Selasa, berusaha meyakinkan penduduk yang waspada bahwa mereka telah berubah sehari setelah kekacauan mematikan mencengkeram bandara utama ketika orang banyak yang putus asa mencoba melarikan diri dari negara itu.
Foto: AP
Wartawan Perempuan di Kabul Perlahan Tergerus. Pejuang Taliban berjaga-jaga di pos pemeriksaan dekat kedutaan AS yang sebelumnya diawaki oleh pasukan Amerika, di Kabul, Afghanistan, Selasa, 17 Agustus 2021. Taliban menyatakan amnesti di seluruh Afghanistan dan mendesak perempuan untuk bergabung dengan pemerintah mereka Selasa, berusaha meyakinkan penduduk yang waspada bahwa mereka telah berubah sehari setelah kekacauan mematikan mencengkeram bandara utama ketika orang banyak yang putus asa mencoba melarikan diri dari negara itu.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Reporters Without Borders (RSF) mengatakan dalam sebuah laporan wartawan perempuan di Kabul perlahan 'menghilang' setelah Taliban menguasai pemerintahan Afghanistan. Menurut RSF dan organisasi mitranya Pusat Perlindungan Jurnalis Wanita Afghanistan, dari 510 wanita yang pernah bekerja untuk delapan media dan kelompok pers terbesar, hanya 76 yang saat ini masih bekerja.

"Penghormatan Taliban terhadap hak fundamental perempuan, termasuk jurnalis perempuan, untuk bekerja dan menjalankan profesi mereka adalah isu utama,” kata Sekjen RSF Christophe Deloire dilansir dari Al Arabiya, Ahad (5/9).

Baca Juga

Menurutnya, setelah Taliban mengambil alih kendali Afghanistan pada 15 Agustus, kelompok itu melancarkan serangan pesona untuk merehabilitasi citra mereka yang oleh media dijuluki sebagai 'Taliban 2.0'. Taliban bersikeras bahwa mereka telah berubah dari era 1996-2001 dan berjanji tidak membalas dendam pada pegawai pemerintah dan tentara.

Mereka juga berjanji menghormati hak-hak perempuan dan menjadi pemerintah baik hati di bawah hukum syariah Islam. Namun, politikus dan aktivis perempuan Afghanistan mengatakan Taliban tetap akan memperlakukan perempuan sebagai warga negara 'kelas bawah' dan beberapa bahkan mengatakan menunggu anggota Taliban datang dan membunuh mereka.

Seorang presenter TV perempuan Afghanistan bernama Shabnam Dawran membagikan kisahnya di media sosial. Ia mengatakan Taliban melarangnya bekerja seperti biasanya.

Dawran, yang bekerja untuk Radio Televisi Mili milik Afghanistan, mengunggah kisahnya tersebut di akun Twitter-nya. "Ketika saya mendengar bahwa aturan sistem baru (Taliban) telah berubah. Dengan keberanian yang saya miliki, saya pergi ke kantor untuk memulai pekerjaan saya, (tetapi) tentara sistem saat ini tidak memberi saya izin untuk memulai pekerjaan saya. Mereka mengatakan kepada saya bahwa rezim telah berubah. Anda tidak diizinkan, pulanglah. Saya meminta dunia membantu saya karena hidup saya dalam bahaya,” tulis Dawran.

RSF mengatakan dalam laporannya bahwa sebagian besar jurnalis perempuan telah dipaksa berhenti bekerja di provinsi-provinsi, di mana hampir semua media milik swasta berhenti beroperasi ketika pasukan Taliban menguasai. LSM yang berfokus pada kebebasan pers menambahkan eksekutif dan editor dengan outlet media milik swasta yang belum memutuskan untuk berhenti beroperasi mengonfirmasi mereka di bawah tekanan. Saat ini, mereka menyarankan jurnalis perempuan mereka tinggal di rumah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement