REPUBLIKA.CO.ID, IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Kali ini ada tiga hal yang seru diperbincangkan. Ini terkait sama soal BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila). Hal itulah adalah perkara hukum fiqh hormat bendera, soal taliban di KPK, dan soal wacana sebutan santri. Kalau mau ditambahahkan ada satu lagi, yakni soal menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Harus diakui banyak pihak yang jengah dan terbengong-bengong. Khusus BPIP misalnya kontroversinya malah dipicu sejak awal mulai dari omongan petingginya yang membenturkan hubungan Islam dan Pancasila. Sekjen Muhamadiyah, hingga sosok seperti Buya Anwar Abbas pun tegas sekali mempermasalahkannya. Ormas Islam di luar NU misalnya juga tak sepakat. Ada nada kecewa di sana.
Kalau soal hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia raya, soal ini sudah muncul sejak era 1980-an. Kala itu siswa sekolah harus melakukan hormat bendera di awal dan akhir masa belajar. Waktu itu juga sudah terdengar pro-kontra. Alasannya macam-macam, dari yang berlandaskan doktrin agama, ideologi, politik, hingga soal sikap 'kemalasan' biasa saja.
Dan khusus untuk ormas Islam, soal ini memang salah satu pemicunya mau tidak mau muncul dari apa yang terjadinya di Iran pada tahun 1979: Revolusi Islam Iran. Mau tidak mau revolusi yang dipimpin lelaki tua berjanggut Imam Khoemeni memicu 'ghirah'. Umat Islam Indonesia saat itu seperti dipecut dan tergerak sekaligus kaget. Ajaran Islam ternyata masih bisa ditegakkan di tengah hegemoni kekuasaan barat yang luar biasa. Kala itu ada anggapan akan datangnya sebuah pembaharuan Islam yang dipercaya selalu hadir di dunia setiap 100 tahun sekali
Sejak itulah marak muncul kajian Islam. Di awali dari Jogjakarta mahasiswa mulai membuat 'khalaqah'. Para mahasiswi mulai memakai jilbab. Emha Ainun Nadjib membuat pertunjukan kolosal di berbagai kota 'Lautan Jilbab'. Buku-buku Islam, di awali dengan sebuah penerbit Mizan di Bandung yang dikomando Haidar Bagir, kian marak bermunculan. Umat Islam di Indonesia diperkenalkan pemikiran Islam baru dari yang bermahzab Suni, hingga Syiah, bahkan hingga yang bebas mahzab. Pendek kata marak sekali.
Baca juga : Solusi Konflik Afganistan-Taliban Menurut Kiai Muhyiddin
Pada saat yang sama usaha membendung 'ghirah itu' juga terasa. Targetnya kala itu adalah kalangan siswa sekolah. Macam-macam bentuknya dari dari pelarangan jilbab, pengawasan pengajian dan diskusi, hingga soal hormat bendera. Anak sekolah selaku generasi muda digerojok indoktrinasi ala Orde Baru yang juga mengklaim diri paling Pancasila.
Maka jangan heran saat itu ada mata pelajaran 'unik', yakni Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Semua soal Pancasila dituangkan di sana di samping mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Bahkan saat itu, para siswa sekolah misalnya harus memainkan drama epidose pendek peristiwa malam jahanam di 1 Oktober 1965.
Penulis misalnya kala itu ingat betul memerankan sosok Jendral Ahmad Yani ketika diculik dalam adegan film legendaris karya Arifin C Noer: Pengkhianatan G 30 S/PKI. Alur cerita film itu kami contoh mentah-mentah dan diperagakan di depan kelas. Guru PSPB mengawasinya dan memberi nilai semua drama itu.
Jadi selain dilakukan hormat bendera secara harian, kami pun juga melakukan hormat bendera dan juga menyanyikan lagu Indonesia Raya setiap hari Senin di halaman sekolah. Tak ada yang tak boleh absen. Bahkan, jam pelajaran di pagi hari diajukan. Istilahnya kala itu digelar pada jam pelajaran '0' (nol), sebab jam pelajaran pertama dimulai pukul 07.00 pagi.
Lagi-lagi saat itu juga terjadi kontroversi. Bagi yang tidak suka dengan gaya sekolah militer yang diterapkan ke anak-anak sekolah umum, memang mengkritik keras. Saat itu ada tudingan bila gaya hormat bendera di pagi hari mirip melakukan upacara 'Seikere' (membungkuk ke arah terbit matahari) pada zaman Jepang. Ingatan atas soal Seikere ini salah satu picunya adalah berasal dari kaset pengajian Buya Hamka yang tersebar masif. Kaset itu berjudul 'Manisnya Iman' dan terjual cukup laris.
Buya Hamka diceramah tersebut berkisah mengenai pengalaman ayahnya, KH Abdul Karim Amrullah, ketika menghadapi bala tentara Jepang yang mewajibkan Seikere kepadanya. Sebagai tokoh ulama besar, bagi kolonial Jepang persetujuan dia sangat penting terutama bagi warga yang tinggal di 'Ranah Minang'. Jepang tahu, apa yang akan dikatakannya akan dikuti umat Islam di sana.
''Tapi ayah menolak. Ketika saya tanya alasan kenapa ayah berani menolak permintaan komandan Kempetai (Pasukan khusus Jepang,red) itu. Beliau jawab hanya tersenyum. Katanya, yang saya takutkan bukan saya nanti akan dipancung kepalanya, tapi saya lebih takut bagaimana nasib saya setelah mati. Apa yang harus saya katakan kepada Tuhan ketika pernah membungkuk laksana menyembah matahari?,'' kata Hamka sembari menyebut sikap ayahandanya itu adalah bukti manisnya iman.
Baca juga : Kapan Pria Boleh Menikah Lagi Setelah Bercerai?
Zaman berganti. Indonesia merdeka. Semua orang antusias memberi hormat kepada bendera dan dengan suka cita menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tak ada lagi sikap seperti meremehkan daya magis lagu kebangsaan ini. Sikap seperti lagak Komandan Intelejen Belanda pada tahun 1928, Van der Plaz, yang menganggap lagu kebangsaan ini hanya selera kaum anak-anak sekolah dan tak bermutu, tak ada lagi.
Tapi pertanyaanya, apakah di zaman awal kemerdekaan dengan serta merta semua masyarakat antusias melakukan itu. Dalam hal ini ada kisah menarik dari mendiang Adnan Buyung Nasution yang menyelesaikan pendidikan dasarnya di Yogyakarta. Dia tinggal bersama dengan keluarganya yang mengungsi dari Jakarta ke Jogjakarta. Ayahanda Bang Buyung itu adalah wartawan kantor berita Antara.
''Saya lihat sendiri di masa awal kemerdekaan tak semua orang antusias melakukan hormat bendera dan menyanyikan lagu Indonesia Raya itu. Banyak pula yang terlihat tidak antusias bila Republik Indonesia Merdeka. Bahkan, saya lihat mereka yang percaya bila Republik Indonesa akan eksis itu minoritas. Kaum mayoritas bersikap setengah-setengah menunggu keadaan. Mereka adalah kelompok yang selama ini diuntungkan kolonial Belanda, misalnya kaum birokrat dan priyayi. Rakyat kebanyakan atau awam pun hanya menurut saja. Oportunisme ada di mana-mana. Dan itu biasa, '' kisah Buyung beberapa tahun silam.
Nah, khusus dalam soal oportunisme dalam perjuangan, mau tidak harus dingat apa kata DN Aidit kala dalam rapat akhir jelang G30S PKI. Kisah ini ada dalam buku karya Vicktor Viks tentang kisah di seputaran tanggal 30 September 1965. Aidit waktu itu berkata menyakinkan para anggota rapat: Kalau dalam perjuangan itu biasa. Pada awalnya memang tak ada yang datang. Tapi kalau nanti akan menang, maka semua orang akan datang ke kita!"
Dan memang, entah karena apa sebabnya atau karena banyak sikap oportunisme di bangsa ini, gagasan hormat bendera di awal dan akhir jam tak berlangsung lama. Beberapa tahun kemudian kegiatan ini menghilang laksana uap. Mata pelajaran PSPB juga begitu nasibnya.
Selain itu, pada masa awal usai reformasi malah upacara sekolah yang merupakan kesempatan istimewa untuk melakukan hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan, tidak lagi merupakan kewajiban yang harus dilakukan secata rutin setiap pekan di hari Senin. Lembaga BP7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang merupakan institusi penafsir Pancasila yang paling otoritatif di masa Orde Baru ikut menghilang.
Uniknya, di zaman yang disebut milenial ini soal yang sama terulang lagi. Entah mengapa kini muncul kembali kecerendungan mengadu Pancasila dengan agama Islam. Banyak cendikiawan sudah mempersoalkannya dan prihatin. Tapi semua berlalu begitu saja. Kontroversi soal terakhir yang paling hebat adalah terjadi ketika terjadi polemik mengenai hari kelahiran Pancasila, terutama dengan adanya keinginan untuk memeras Pancasila menjadi Trisila, Eka Sila dan sebagainya.
Baca juga : Taliban Dekati Kabul, Kemenlu RI Siapkan Langkah Antisipasi
Umat Islam lagi-lagi terperangah. Ada apa ini. Di tengah masih maraknya korupsi --bahkan Bung Hatta - sudah puluhan tahun lalu mengatakan korupsi menjadi budaya bangsa, berbagai soal lain soal hubungan Pancasila dan agama selalu dimunculkan terus menerus. Terasa ada Islamphobia di sana. Orang banyak mulai berpikir jangan-jangan malah korupsi sudah dianggap biasa atau tak menjadi soal sangat serius seperti ideologi negara? Pemberantasan korupsi terkesan main-main!
Dan khusus soal 'taliban' yang kini menguasai pemberitaan dunia, sebenarnya kalau dalam istilah sama saja dengan 'santri'. Taliban adalah kaum pelajar (siswa) dan ini berakhir kepada bahasa Arab: 'thalib'. Sedangkan santri adalah berasal dari bahasa Sansekerta, India. Artinya adalah siswa atau murid dari resi yang ada di padepokan (bahasa sekarang: perguruan berasrama atau sekolah fullday, red). Bila diurut lagi santriwati itu lazim disebut dengan nama 'endang' dan santriwan disebut 'bambang'. Dan ketika soal ini dibincangan dengan pakar filsafat dan budaya Islam, Prof DR Abdul Hadi WM, dia hanya tertawa saja.
Uniknya, saya lihat sendiri ketika di Lahore apa yang disebut Taliban ternyata praktik keagamaanya tak banyak berbeda dengan kita. Contoh sederhananya adalah sangat gemar menyanyikan lagu syair berbahasa Arab dalam pertemuan pengajiannya.
Ah, sudahlah terserah. Kita rakyat hanya bisa menonton saja kan?