Jumat 13 Aug 2021 09:38 WIB

Memahami Makna Hijrah

Makna Hijrah yang sejati

Relawan dari alumni santri Al-Islam Solo menghapus tato peserta saat program Hijrah Hapus Tato di SMP 1 Al-Islam Solo, Jawa Tengah, Ahad (30/5/2021). Layanan tersebut untuk membantu warga yang ingin menghapus tato di tubuhnya.
Foto:

Dua Arti

Tahun Hijriyah, sekali lagi, tidak didasarkan pada kelahiran Nabi Saw. Tetapi pada momentum hijrah yang menjadi tonggak penting dalam sejarah Islam. Dalam konteks ini, hijrah bisa dipahami dalam dua arti, yakni secara makani dan maknawi. 

Hijrah makani merupakan proses migrasi atau perpindahan secara fisik, dari satu tempat ke tempat lain. Bisa antar negara atau antar daerah saja.

Pada masa Rasulullah Saw terdapat tiga peristiwa hijrah tersebut. Yang pertama, hijrah ke Habasyah (Ethiopia sekarang), yang dilakukan pada bulan Rajab tahun ke 5 pasca kenabian. Dipimpin sahabat Utsman bin Affan, hijrah yang diikuti dua belas orang laki-laki dan perempuan ini atas perintah langsung Rasulullah Saw.

Tak lain, untuk melepaskan diri dari cobaan karena berbagai tekanan kaum Quraisy Makkah sejak pertengahan atau akhir tahun keempat kenabian. Tekanan makin berat hingga pertengahan tahun kelima, seakan Makkah tak lagi ramah bagi kaum muslim yang memang masih lemah.

Dipilihnya Habasyah atau Ethiopia, suatu daerah di ujung Utara Afrika, karena wilayah tersebut dipandang lebih ramah. Penguasanya, Ashamah an-Najasyi, dikenal sebagai raja yang adil, tak ada seorang pun teraniaya di sana.

Yang kedua, hijrah ke Thaif, dilakukan oleh Rasulullah Saw sendiri dengan berjalan kaki bersama sahabatnya, Zaid bin Haritsah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Syawwal, tahun ke 10 pasca kenabian.

Pada tahun itu Nabi Saw memang mendapatkan cobaan yang tak ringan. Selain karena tekanan kaum Quraisy Makkah yang makin berat, juga merupakan tahun duka bagi Nabi khususnya. Dua orang yang dikasihi, yaitu Abu Thalib dan Sayyidah Khadijah, wafat. Keduanya menjadi "benteng" pertahanan yang selalu menguatkan perjuangan Nabi. Abu Thalib adalah paman Nabi sendiri, yang wafat pada bulan Rajab. Tiga bulan kemudian, pada bulan Ramadhan, menyusul sang istri tercinta, Ummul Mukminin Khadijah al-Kubra.

Tahun ke 10 pasca kenabian tersebut, karena cobaan dan penderitaan yang bertumpuk-tumpuk, Nabi sendiri menyebutnya sebagai 'Amul Huzni (Tahun Kesedihan). Istilah yang kemudian populer dalam sejarah Islam. Apalagi ketika sampai di Thaif, masyarakat di sana malah menyakiti Nabi, memperlakukan secara kejam. Perlakuan yang justru tidak pernah dialami sebelumnya. Lengkaplah sudah duka cita Nabi Saw.

Yang ketiga, hijrah ke Yatsrib atau yang kemudian masyhur dengan Madinah, 340 Km (210 mil) dari Makkah. Terdapat perbedaan di kalangan sejarawan. Ada yang menyebutkan, peristiwa itu terjadi pada 621 M. Ada pula yang meyakini pada 622 M atau tahun ke 13 pasca kenabian. Namun keduanya bersepakat bahwa hijrah Nabi dilakukan pada bulan Rabi'ul Awwal. 

Muhammad bin Ishaq bin Yasar, yang populer dengan Ibnu Ishaq (w.768 M), tercatat sebagai sejarawan muslim pertama, dan Imam at-Thabari (w.923 M) di antara sejarawan yang cukup lengkap memberikan penjelasan. Menurutnya, sebelum sampai di Yatsrib terlebih dahulu Nabi singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal atau 24 September 622 M, saat waktu dhuha. Quba berada sekitar 5 Km di sebelah tenggara Madinah.

Di sana Nabi tinggal bersama keluarga Amr bin Auf hingga hari Kamis, 15 Rabi'ul Awwal atau 27 September 622 M. Di tempat ini pula Nabi membangun masjid yang pertama, yaitu Masjid Quba.

Kemudian pada hari Jumat, 16 Rabi'ul Awwal atau 28 September 622 M, Nabi melanjutkan perjalanan ke Madinah. Di tengah perjalanan, tepatnya di Bathni Wadin, sebuah lembah milik keluarga Banu Salim bin Auf di sekitar Madinah, turun wahyu tentang kewajiban shalat Jumat (Qs. Al-Jumu'ah: 9). Maka Nabi dan rombongan pun kemudian melaksanakan shalat Jumat di tempat tersebut, yang diawali dengan penyampaian khutbah. Dalam sejarah Islam, inilah shalat Jumat yang pertama. Setelah itu, Nabi menuju Madinah. 

Itulah hijrah makani. Jika hijrah ini dipahami dalam konteks perpindahan secara fisik, maka hijrah secara maknawi lebih dipahami dalam konteks non fisik. 

Kata hijrah itu sendiri menyiratkan pemutusan hubungan yang menyakitkan. Berdasarkan akar kata "hajara" kemudian dimaknai: "dia memutus dirinya sendiri dari hubungan atau komunikasi yang ramah dan penuh cinta. Dia tidak lagi terkait dengan mereka." Demikian Montgomery Watt (w.2006), orientalis dan sejarawan utama tentang Islam dari Britania Raya. 

Dalam konteks tersebut, hijrah memang memutus dan meninggalkan. Pada masa itu, tidak semua berkenan untuk melakukan hijrah, terutama mereka yang masih merasa berat dengan harta dan hubungan kekerabatannya. Dengan hijrah berarti memutus hubungan kekerabatan, juga meninggalkan harta dan segala kepemilikan.

Di situlah hijrah menemukan makna batin, menyangkut perubahan pandangan dan sikap, bahwa yang lebih baik telah dibentangkan Tuhan di depan. Keyakinan seperti ini bukan utopia belaka, tetapi merupakan optimisme karena keimanan yang menyala.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement