Jumat 18 Jun 2021 21:19 WIB

Kiai Miftah Tegal, Komandan Santri Usir Belanda Pakai Ketela

Kiai Miftah Tegal berperang lawan Belanda pada peristiwa 10 November

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Kiai Miftah Tegal berperang lawan Belanda pada peristiwa 10 November. Laskar bambu runcing
Foto: arsip nasional.
Kiai Miftah Tegal berperang lawan Belanda pada peristiwa 10 November. Laskar bambu runcing

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tak dapat dimungkiri bahwa kaum santri juga memiliki kontribusi yang sangat besar dalam perjuangan kemerdekaan. Kaum bersarung ini merupakan miniatur umat Islam yang turut andil dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. 

Salah satu santri sekaligus ulama yang turut berperan di era perjuangan kala itu adalah Kiai Miftah dari Tegal. 

Baca Juga

Ia adalah salah seorang komandan santri dari Pondok Pesantren Lirboyo yang pernah ikut serta bertempur melawan Belanda pada 10 November 1945 di Surabaya yang kini dikenal sebagai Hari Pahlawan. 

Dalam buku berjudul “Kiai Miftah Tegal” karya Abdul Fatah, Kiai Abdul Muhyi menjelaskan bahwa senjata yang digunakan dalam peristiwa 10 November 1945 kala itu adalah bambu runcing, bahkan sebagian pasukan menggunakan batang ketela. 

Menurut Kiai Abdul Muhyi, Kiai Miftah termasuk komandan pasukan santri yang menggunakan senjata berupa pohon ketela, tapi di depan musuh terlihat seperti pedang. Semangat juang Kiai Miftah kala itu patut dicontoh umat Islam, baik generasi sekarang maupun mendatang. 

Nama lengkapnya adalah Muhammad Miftah yang lebih dikenal dengan Kiai Miftah. Ia merupakan salah satu ulama karismatik yang berasal Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Kiai Miftah lahir pada 6 Juni 1920 dari pasangan KH Mahmud dan Nyai Naimah. 

Ia merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Saudara-saudarinya adalah Nyai Mazinah, KH Mawardi, H Malawi, Nyai Mariah, Hj Solihah, Nyi Maemunah, dan Abdul Makin. Miftah dan kakak-kakaknya masih memiliki darah biru. Jika dirunut dari silsilah ayahnya, maka akan sampai pada Sultan Agung Raja Mataram Islam yang berkuasa pada 1613-1645.  

Saat masih berusia tiga tahun, ayahnya kemudian meninggal dunia. Tiga tahun kemudian, ibunya juga dipanggil Allah SWT. Ia pun mengalami kesedihan yang mendalam. Perjalanan hidupnya untuk menjadi ulama besar dilaluinya dengan cobaan dan ujian.  

Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Miftah kemudian ikut bersama kakaknya, KH Mawardi di Pekalangan, tepatnya di Jalan Kergon kenayagan Gang III No. 15 Pekalongan. Semangatnya pun kembali bangkit untuk mewujudkan cita-cita ibunya yang ingin menjadikan Miftah sebagai anak yang saleh dan bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara. 

Selain belajar dan mengaji kepada KH Mawardi, Miftah juga membantu pekerjaan kakaknya tersebut. KH Mawardi sendiri merupakan pengasuh pondok pesantren yang mengasuh sekitar 100 santri. Ia adalah  salah satu murid Syakh Kholil Bangkalan, Madura. 

Di pondok pesantren kakaknya tersebut, Miftah memperdalam Alqur’an dan ilmu tata bahasa Arab kurang lebih dua tahun. Setelah kegiatan mengaji pagi, Miftah juga membantu berjualan es balok di kios milik KH Mawardi. Bahkan, ia sering bekerja di kebun milik kakaknya untuk bercocok tanam atau sekadar membersihkannya. 

Putra KH Mawardi, Kiai Abdul Muhyi mengatakan, sejak di Pekalongan Miftah juga sudah mulai menghafal sejumlah kitab, seperti Jurumiah, Imriti, dan Alfiah Ibnu Malik. Karena itu, tak heran jika pada usia 11 tahun Miftah sudah berhasil menghafalkan kitab Alfiah, sebuah kitab syair tentang tata bahasa Arab dari abad ke-13.  

Setelah dua tahun belajar di Pekalongan, kemudian Miftah melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat. Kemudian, Miftah melanjutkan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Watu Congol Magelang yang diasuh oleh Mbah Dalhar. Setelah itu, barulah ia memantapkan hatinya untuk belajar ke Pondok Pesantren Hidayatul Mutadiin Lirboyo, Kediri. 

Pada waktu itu pengasuh Pesantren Lirboyo adalah KH Abdul Karim atau yang lebih dikenal dengan Mbah Manab. Miftah belajar di pesantren tersebut kurang lebih 21 tahun lamanya. Ia dikenal sebagai santri yang tawadlu, tidak sombong, tidak merasa alim dan selalu mengikuti perintah kianya. Karena itu, ia pun menjadi santri kesayangan Mbah Manab dan menjadi panutan santri Tegal di Lirboyo. 

Layaknya santri yang sudah lama di pesantren, maka Kiai Miftah menjadi tempat mengaji para santri junior yang ingin menambah ilmu di Lirboyo. Ia mengajar para santri junior tersebut di kamarnya sendiri. Ia tidak mengajar di masjid karena tawadhu’ terhadap pengasuh. 

Saat di Lirboyo, Kiai Miftah memang mendapat kepercayaan dari gurunya dan ia diberikan izin khusus oleh pengasuh untuk mengajar di pesantren. Padahal, persyaratan santri untuk mengajar di pesantren saat itu sangatlah berat. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement