Sabtu 08 May 2021 06:01 WIB

Benarkah Raja dan Bangsawan Jawa Kadrun?

Beranikah kalian sebut raja dan bangsawan Jawa Kadrun?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920.
Foto:

Mengenai soal ketaatnya pada ajaran Islam, pada 1624 dia melihat orang dengan mengenakan janggut panjang ada di sekitar raja: Orangnya sopan, berbadan gagah ini adalah 'para imam Arab atau penghulu kepala' karena orang Jawa berjanggut panjang jarang dijumpai.

Raja kala itu pun secara teratur pergi ke masjid. Para pembesar wajib mengikutnya. Juga pada gerebk pusa 9 Agustus 1622, Raja pergi ke masjid meskipun itu bukan tahun Dal. Rupanya Sultan Agung tiap tahun menghadiri perayaan tersebut. Juga sebelum 1533, tawanan perang harus dikhitan dengan ancaman hukuman mati.

Graaf kemudian menulis: Demikianlah, ada beberapa petunjuk, sejak sebelum berlakunya tarikh Islam, Raja Mataram sungguh-sungguh mentaatu peraturan agama Islam. Bahwa setelah dewasa ia menjadi lebih keras dalam hal ini, baik terhadap diri sendiri maupun terhadap sekelilingnya, itu tidak mengherankan. Hingga kini di keraton-keraton itu masih ada pangeran lanjut usia menjadi lebih saleh.

Kenyataan ini berlanjut hingga era Pakubuwana ke IV di Mataram Surakarta yang hidup sezaman dengan Pangeran Dipanegara di Mataram Yogyakarta. Kedua bangsawan ini begitu taat pada ajaran Islam bahkan sejak kecil belajar di pesantren dan pengikut tarekat syatariah.

Khusus untuk Pakubuwana ke IV malah lebih unik. Meski dia raja Jawa dia dalam kesehariannya memakai serban dan jubah. Dia juga memberikan khotbah Jumat di Masjid Keraton. Rakyat Mataram pun menyebutnya sebagai 'Sultan Wali'. Pakubuwana IV meninggalkan banyak tembang yang berisisi ajaran Islam. Selain itu semua bangsawan Jawa saat itu adalah pengikut tarekat Syatariah. Contohnya misalnya ada pada sosok bangsawan Arunbinang, yang merupakan birokrat terkemuka di Kraton Surakarta.

Genap Berusia 263 Tahun, Ini Foto 4 Ikon Kota Yogyakarta Dulu dan Sekarang

Keterangan foto: Perayaan maulid nabi (Sekaten) di Keraton Yogyakarta pada tempo dulu.

                        *****

Nah, situasi inilah yang kemudian berubah setelah kekalahan Pangeran Diponegoro dalam perang Jawa. Sebagai pemenang Kolonial Belanda kini menggembang mutlak kerajaan Mataram. Mulai dari sinilah Islam berusaha dipisahkan dalam masyarakat Jawa dan kemudian menyebarluaskan idiom baru bahwa Jawa itu bukan Islam, melainkan Hindu-Budha. Aksioma inilah yang kemudian disebut Nancy K Florida sebagai omongan orang 'nglindur' (mengigau).

Jadi dari sanalah asal usul maraknya sebutan peyoratif terhadap Islam yang kini disebut sebagai 'kadrun itu'. Contoh ini jelas sekali misalnya dalam pembuatan dan penyebarluasan kitab 'Gatoloco' yang terbit di Kediri. Kawasan ini berada di lerang gunung Semeru dan dikenal pula sebagai pusat penyebaran agama Kristen di Jawa. bersama wilayah Jombang.

Suluk Gatholoco, Cara Berdialog Dengan Sang Pencipta Melalui Hubungan Seks  - MerahPutih

Jadi masihkah berani menyebut para raja dan bangsawan Kesultanan Mataram itu identik dengan 'kadrun'? Kalau berani, maka itu sisa pikiran kolonial yang masih ada sampai sekarang.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement