Sabtu 08 May 2021 06:01 WIB

Benarkah Raja dan Bangsawan Jawa Kadrun?

Beranikah kalian sebut raja dan bangsawan Jawa Kadrun?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920.
Foto:

                       *****

Gambaran peyoratif ini bertolak belakang dengan situasi yang terjadi pada Jawa seblum 1830, yakni pada rentang 'awal' pendirian Kerajaan Mataram. Para bangsawan dan raja semua akrab sekali dengan ajaran Islam. Bahkan Ustaz Salim Fillah dari Yogyakarta, mengatakan Pendiri Kesulatanan Yogyakarta adalah keturunan Arab. Sultan Hamengku Buwono itu punya darah Arab dari ibunya dari kalangan Basyaiban.

Uniknya, apa yang dikatakan Salim Fillah bersesuaian dengan pernyataan pengamat keagamaan yang merupakan murid langsung MC Ricklef: Fachry Ali. Dia mengatakan dengan mengutup laporan dari duta VOC ke Mataram pada masa Amangkurat I, R. Van Goens.''Rudolf Van Goens kala itu menceritakan raja dan bangsawan Mataram memang beda dengan rakyat pribumi. Mereka tinggi besar dan punya kulit berbeda dengan pribumi Jawa yang kecil-kecil. Mereka ganteng-ganteng,'' kata Fachry.

Ketika soal ini ditanyakan kepada sejarawan UI DR Didik Pradjoko, mengatakan apa yang dikatakan Fachry sangat mungkin. Itu karena leluhur para bangsawan itu memang orang pesisir yang bercampur baur dengan pendatang. Jadinya wajar kalau mereka beda dengan pribumi Jawa yang ada di pedalaman.

Islam Jawa 1950-an: Jejak Santri Minoritas Menjadi Mayoritas | Republika  Online

Keterangan foto: Santri Jawa.

                         ****

Lalu apa buktinya bila para raja dan bangsawan Mataram itu kental dalam memeluk agama Islam? Salah satunya jawabnya adalah pada sejarawan kolonial DR. HJ De Graaf yang sangat tersohor itu. Dalam bukunya 'Puncak Kekuasaan Mataram' dia menulis soal sosok dan pemanpilan Raja Mataram terbesar Sultan Agung seperty yang ditulis dalam laporan H. de Haen yang kala itu berkunjung ke Mataram.

Dia pada tahun 1662 menulis begini: Pangeran Ingalaga ini adalah seseorang yang berada dalam puncak kehidupannya, berusia sekitar 20 atau 30 athun, berbadan bagus, Sejauh pengamatan kami, sedikit lebih hitam dari pada rata-rata orang Jawa, hidung kecil dan tidak pesek, mulut datar dan agak lebar, kasar dalam bahasa, dan lamban bila berbicara, berwajah tenang dan bulat tampaknya cerdas. Memandang sekelilingnya seperti singa.

Pakaian raja juga menarik perhatiannya: pakaiannya tidak berbeda dengan pakaian orang Jawa lainnya, dengan kopiah dan kain linen di kepala, dengan kain buatan negeri menutup badannya yang dilukis putih-biru dengan keris di badan bagian depan dengan ikat pinggang dari emas yang disebut sabuk. Pada jari-jarinya terlihat cincin dengan banyak intan yang gemerlapan.

Atas gambar itu De Graaf kemudian menjelaskan: Kopiah dan linen hampir dapat dipastikan adalah kuluk putih, yang sejak masuknya Islam dipakai oleh mereka yang taat atau yang ingin dianggap taat beribadat. Kain yang dilukis dalah kain dalam negero yang dibatik.

Keris di sini dipakai di sisi depan, berlainan dengan kebiasaan kemudian. Tentang penutup badan bagian atas atau tentang alas kaki tidak ada berita.

Pada 1624, utusan Jan Vos memperhatikan raja: Selain kuluk putih, juga memakai sebagai kain serasse gobar, jadi sebuah 'sebuah kain serasah kebar', sebuah kain batik panjang dari Koromandel dengan mosaik panjang 5,10 m dan lebar 64 cm... Raja memakai terompah darikayu, seperti yang sekarang dipakai orang Muslim yang saleh. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement