REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan ia melihat tidak ada upaya serius dari Amerika Serikat (AS) untuk kembali ke kesepakatan nuklir. Meski ada laporan pemerintahan Biden mengusulkan tawaran baru untuk menyelesaikan kebuntuan atas kesepakatan nuklir 2015.
Dilansir di Al Arabiya, Rabu (31/3), dalam pidato kabinet yang disiarkan televisi, Rouhani menunjukkan Presiden AS Joe Biden mengakui kegagalan kebijakan tekanan maksimum dari pendahulunya Donald Trump. Namun, dia mengatakan kata-kata pemerintahan Biden belum diterjemahkan menjadi tindakan.
Rouhani merujuk pada sanksi keras AS yang terus berlanjut yang telah diberlakukan Trump pada 2018 ketika pemerintahannya keluar dari kesepakatan nuklir. “Apakah Anda setuju Trump adalah seorang teroris? Jika tidak, maka semua pembicaraan Anda tidak valid. Jika Anda melakukannya, maka Anda tidak harus melanjutkan aksinya meski hanya satu detik lagi," katanya.
Gelombang sanksi AS telah memengaruhi setiap aspek kehidupan Iran, menghambat Teheran untuk mengimpor makanan, obat-obatan, dan vaksin Covid-19. Awal pekan ini, beberapa laporan mengatakan pemerintahan Biden menawarkan proposal baru, termasuk beberapa keringanan sanksi ke Iran dengan imbalan menghentikan pengayaan uranium 20 persen, untuk memulai negosiasi.
Proposal itu ditolak dengan cepat, ketika seorang pejabat senior Iran yang tidak disebutkan namanya mengatakan Iran tidak akan mengurangi pengayaan uranium dengan imbalan pencabutan sebagian sanksi.
Hal ini sejalan dengan apa yang disebut Pemimpin Tertinggi Ali Hosseini Khamenei sebagai kebijakan definitif Iran tentang kesepakatan nuklir. Pemimpin tertinggi telah mengatakan dalam beberapa kesempatan Iran hanya akan memenuhi komitmen kesepakatan nuklirnya setelah AS mencabut semua sanksinya.