REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Bulan Ramadhan dinamakan juga "Syahrul Tarbiyah" bulan pendidikan. Dr Zaprulkhan dalam bukunya 'Mukjizat Puasa Menggapai Pencerahan Sipiritual Melalui Ibadah Puasa' menuliskan kenapa puasa dinamakan bulan pendidikan karena selama bulan Ramadhan umat Islam akan mendapatkan pendidikan secara langsung dari Allah atas segala aktivitas kita.
"Secara global, aktivitas kita sebagai hamba Allah di dunia tidak terlepas dari empat macam keadaan," katanya.
Pertama 'fin nikmah' ketika mendapat kenikmatan. Kedua, fil baliyyah waktu menghadapi ujian. Ketiga fith tho'ah, pada saat melakukan ketaatan. Dan yang terakhir fil maksiyah tatkala mengerjakan kemaksiatan.
Dalam empat keadaan ini, kata Zaprulkhan Allah mendidik kita bagaimana seharusnya kita bersikap. Oleh sebab itu mari bicarakan satu persatu empat macam tingkah ini dalam setiap pertemuan dan bagaimana sebaiknya kita bersikap agar tetap berada dalam lingkaran keridhaan Allah SWT.
Pertama, ketika kita mendapatkan kenikmatan. Nikmat kita bicarakan paling awal, yang penting sekali, sebab setiap langkah kita tidak pernah sunyi dari yang namanya nikmat. Secara analistis, nikmat bisa kita klasifikasikan ke dalam dua kategori yaitu nikmat umum dan nikmat khusus atau hakikat nikmat.
Apakah yang dimaksud dengan nikmat umum itu?
Zaprulkhan mengatakan, nikmat diartikan oleh sebagian ulama sebagai, "Segala sesuatu yang berlebih dari modal yang kita miliki."
Pertanyaannya adakah kita sebagai manusia dalam kehidupan ini mempunyai modal?
"Saya ingin menjawab pertanyaan ini dengan Alquran pada awal surah al-insan," katanya.
Yang artinya. "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang pantas disebut?"
7 ayat ini kata zaprulkhan mengajak kita untuk merenungi awal perjalanan hidup kita sebagai manusia. Mari tengok sejenak ke masa lampau titik sebelum kedua orang tua kita saling mengenal satu sama lain sebelum kedua orang tua kita merajut jalinan cinta kasih, sebelum kedua orang tua kita dipertemukan Allah dalam sebuah rangkuman pesta perkawinan.
"Pada saat itu kira-kira kita berada di mana," katanya.
Apakah kita masih berada di dalam perut bumi yang darinya tumbuhan batang padi menjadi beras dan dina akan kedua orang tua kita, lalu berubah menjadi sperma? Mungkin kita masih berada di dalam daging ayam yang berjalan di daratan? Atau masih berada dalam perut ikan yang berenang di lautan dan dinikmati oleh kedua orang tua kita sehingga menjelma setetes air mani? Atau barangkali saja kita masih berada dalam berbagai macam makanan, seperti sepotong roti dan tempe tahu dan oncom yang dikonsumsi kedua orang tua kita, kemudian berubah menjadi nutfah? Sehingga melalui tetesan air mani, sperma, dan nutfah inilah akhirnya tercipta Kita sebagai manusia.
Ketika masih berada di batang padi, daging ayam atau ikan, pantaskah kita dinamakan manusia? Saat masih di dalam roti dan tempe, tahu dan oncom, bisakah kita disebut sebagai manusia? Ketika dalam kondisi demikian itu, layakkah kita disebut sebagai manusia?
"Jawabnya jelas, kita belum layak untuk disebut sebagai manusia, bahkan kita belum pantas untuk disebut apapun," katanya.
Dalam bahasa alquran ini 'Syain madzkuro' sehingga kehadiran kita dipentas kehidupan ini merupakan karunia Allah kepada kita semua," katanya.
Untuk memperjelas mana ayat di atas Zaphrulkha mengutip ungkapan Syekh Ibnu Athaillah mengenai nikmat. Beliau mengatakan. "Ada dua macam nikmat yang tidak ada suatu makhluk pun yang bisa terlepas dari keduanya, yaitu nikmat ciptaan san nikmat kelanjutan.