REPUBLIKA.CO.ID, AL-MAFRAQ -- Sepuluh tahun sejak kekerasan pecah pada 2011, perang sipil yang sedang berlangsung di Suriah masih berada dalam daftar teratas krisis dunia. Puluhan ribu warga sipil tewas dan jutaan lainnya mengungsi.
Satu dekade setelah berlindung di Yordania, harapan para pengungsi Suriah untuk tanah air yang bebas dan demokratis tetap menggantung di awang-awang. Saat konflik Suriah memasuki tahun ke-11, keputusasaan membayangi para pengungsi, sementara krisis terus berlanjut.
Muhammad al-Hariri (33 tahun) menyalahkan kekuatan dunia atas pertumpahan darah yang sedang berlangsung di Suriah. "Kekuatan ini hanya ingin merebut sumber daya negara kami, tetapi tidak peduli dengan apa pun yang terjadi pada kami," kata al-Hariri kepada Anadolu Agency.
"Kami terus menunggu setiap tahun untuk melihat berakhirnya krisis, tetapi yang mengejutkan hari-hari berlalu dengan cepat tanpa pencapaian apa pun di lapangan. Sudah bertahun-tahun sejak tirani dan ketidakadilan menggagalkan revolusi kami," keluh dia.
Bagi Khaled Al-Awda (46) revolusi Suriah telah dicuri. Dia juga menyalahkan politisi atas pertumpahan darah.
“Politisi tinggal di hotel paling bergengsi dan makan makanan enak dan bernegosiasi atas nama kami tanpa otoritas,” kata Al-Awda dengan getir, menambahkan bahwa mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi.