REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR—Pengadilan Tinggi Malaysia telah membatalkan larangan bagi orang Kristen menggunakan kata ‘Allah’ untuk merujuk pada Tuhan mereka. Keputusan ini sebagai respon dari kasus yang melibatkan seorang pastur yang menggunakan kata ‘Allah’ dalam pidatonya, yang memicu ketegangan di Malaysia.
Meski merupakan negara mayoritas Muslim, Malaysia juga memiliki komunitas Kristen yang besar. Komunitas Kristen ini berpendapat bahwa mereka telah menggunakan kata ‘Allah’ untuk menyebut Tuhan mereka sejak berabad-abad lalu, merujuk pada pengadopsian bahasa Arab pada bahasa Melayu, yang menjadi bahasa utama Malaysia.
Keputusan pelarangan menggunakan ‘Allah’ oleh umat Kristen, kata mereka telah melanggar hak-hak mereka sebagai umat beragama. Meski Konstitusi Malaysia telah menjamin kebebasan beragama, tetapi ketegangan agama telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2008, pihak berwenang Malaysia menyita CD berbahasa Melayu dari Jill Ireland Lawrence Bill, seorang Kristen, setelah mereka menemukan rekaman itu menggunakan kata "Allah" dalam judulnya. Ms Bill kemudian meluncurkan gugatan hukum atas kasus tersebut.
Setelah satu dekade berlalu, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur akhirnya memutuskan bahwa dia berhak untuk tidak menghadapi diskriminasi atas dasar keyakinannya. Dalam keputusannya, Justice Nor Bee memutuskan bahwa kata "Allah”, bersama dengan tiga kata lain yang berasal dari bahasa Arab ‘Kaabah’ (tempat suci paling suci Islam di Mekah), ‘Baitullah’ (Rumah Tuhan) dan ‘Solat’ (doa), dapat digunakan oleh orang Kristen.
Justice Nor Bee mengatakan perintah yang melarang penggunaan empat kata itu ilegal dan tidak konstitusional. “Kebebasan untuk menganut dan mengamalkan agama harus mencakup hak untuk memiliki materi keagamaan,” katanya yang dikutip di BBC Malaysia, Kamis (11/3).
Ini bukan pertama kalinya pengadilan Malaysia terpecah belah atas penggunaan kata "Allah".
Dalam kasus terpisah, surat kabar Katolik setempat, The Herald, menggugat pemerintah setelah mengatakan tidak dapat menggunakan kata itu dalam edisi bahasa Melayu untuk menggambarkan Tuhan Kristen. Pada tahun 2009, pengadilan yang lebih rendah memutuskan mendukung The Herald dan mengizinkan mereka menggunakan kata tersebut.
Keputusan ini memicu lonjakan ketegangan agama antara Muslim dan Kristen. Mengakibatkan lusinan gereja dan beberapa ruang sholat Muslim diserang dan dibakar.
Pada 2013, keputusan tersebut dibatalkan oleh Pengadilan Banding, membuat larangan tersebut kembali berlaku.
Pada hari Kamis, Muafakat Nasional Malaysia - sebuah koalisi politik - mendesak agar putusan Pengadilan Tinggi terbaru dirujuk ke Pengadilan Banding, dan melahirkan pencabutan larangan oleh Pengadilan Tinggi Malaysia.
sumber: https://www.bbc.com/news/world-asia-56356212
Dea Alvi Soraya