Ahad 07 Mar 2021 05:01 WIB

Imaji Nunggang Macan Dalam Filosofi Kekuasaan Jawa

Imaji kekuaaan dalam budaya dan pikiran orang Jawa

Eksekusi putra Raja Amangkurat II dengan cara dicekik dan permaisuri serta para dayang-dayangnya di eksekusi dengan cara di lempar ke kandang macan yang tidak diberi makan selama berhari-hari.
Foto:

Nah, setelah era berdirinya kerajaan Airlangga itu kisah perguliran kekuasaan di Jawa semakin terang. Kekuasaan memang selalu ganti berganti. Dan sedihnya, darah dan darah terus terumpah setiap kalinya. Perang dan perang terus terjadi, bahkan antarkeluarga sekalipun.

Lihat saja pada kisah berdiri Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Pajang, hingga Mataram Islam. Melalui buku yang ditulis secara serial oleh sejarawan Belanda ‘De Graaf’ (menulis tentang bangkit, puncak, dan surutnya kekuasaan Mataram Islam) situsasi kekerasan dan konflik terasa sangat jelas. Tikam menikam keris dan senjata sudah berupa kelaziman.

Bahkan, para ahli sejarah Belanda lain ada yang sampai hati mengatakan para penguasa di Jawa dahulu sebenarnya hanya keturunan sekelompok orang layaknya kepala gang bandit. Mereka tampaknya berkata begitu karena menyusuri alur sejarah perguliran kekuasaan di pulau beras ‘Jawa Dwipa’ yang memang berdarah darah ini.

Jejak pergantian kekuasaan di Jawa pasca-Demak hingga beralih ke Mataram Islam tersaji dengan yahud melalui fiksi legendaris 'Api Di Bukit Menoreh' kaya SH Mintardja. Serial bersambung yang dahulu terbit dalam sebuah koran dan cetakan stensilan buku tipis, dianggap sebagai fiksi terbaik yang menceritakan sepenggal episode pergantian kekuasaan di Jawa. Fiksi ini memang mampu merangsang imajinasi, dan fiksi ternyata beda dengan selama ini khalayak awam pahami sebagai hal yang fiktif atau palsu.


 

photo
Keterangan foto: Novel Api Di Bukit Menoreh' karya SH Mintardja

Di penghujung akhir kekuasaan Belanda di Jawa, setelah surutnya pengaruh kerajaan dinasti Mataram dan eksisnya pemerintahan kolonial, wilayah ini tak pula kunjung aman. Klaim kekuasaan bila negerinya itu aman sentosa dan adil makmur hanya ujaran semata, bahkan meninabobokan.

Konflik dan darah terus terjadi di sekujur pulau ini. Kelaparan penduduk, tanah yang jatuh disewa oleh orang asing untuk lahan perkebunan, dan cucuran air mata yang dibarengi perlawanan rakyat terus terjadi sepanjang waktu.

Mendiang tokoh sejarawan Sartono Kartodirjo kerap mengatakan di Jawa sebenarnya kekerasan terus meletup atau bergejolak: Setelah perang Jawa kekerasan terus terjadi di seluruh pulau Jawa meski bentuknya sporadis dan kecil-kecil. Namun rata menyebar. Bandit dan 'kecu' memangsa rakyat yang tinggal di perdesaan.

Menurut Sartono, bahkan setelah era perang pesar Jawa, yakni perang Diponegoro (1825-1830) kerusuhan mengguyur merata seperti hujan yang rintik. Memang tidak dalam bentuk perang raya lagi, tapi kekerasan terus merebak dari ujung ke ujung.

Hal itu misalnya bermunculannya bentuk kekerasan yang digagas oleh tokoh spiritual di lereng gunung di Jawa Timur, ulama di Pantai Utara Jawa, perlawanan para haji di Banten (munculnya Pemberontakan Petani Banten (1888), hingga perlawanan tokoh lokal spiritual Entong Gendut di Jatinegara, perlawanan atas pajak tanah dan jumlah hari kerja yang dipimpin Kayin Bapa Kayah di desa Pangkalan (dekat bandara Soekarno-Hatta), hingga Pitung yang konon lahir di bilangan Pal Merah (Jakarta). 


Bukan hanya selesai saat itu saja, kekerasan terus meletup hingga 1928 memakan darah yakni pemberontakan PKI pertama, Peristiwa pembantaian di tiga daerah (perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat pada 1945), Perang Revolusi Kemerdekaan 1945-1950, Pemberontakan DII/TII Kartosuwiryo, kekerasan di sekitar peristiwa G30SPKI 1965, hingga pembantaian dukun santet di Jawa Barat dan Jawa Timur, sampai hadirnya rusuh di masa Reformasi 1998.

Jelas semua perguliran kekuasan tersebut terus memercikkan api kesumat dendam. Bahkan hingga kini apa yang disebut impian dalam tembang di suluk para dalang wayang kulit: ‘negeri ingkang tata tentrem karta raharja’ hingga adanya sosok Ratu Adil, tetap tak memunculkan bayangannya.

Gambaran era Jawa yang cukup makmur memang sempat ada meski dalam masa yang sebentar sekali (yakni terindikasi berada di dalam masa kolonial antara tahun 1900-1930). Kala itu orang menyebut sebagai 'zaman normal' yang saat itu juga disertai era munculnya gaya lukisan 'Indonesia Moy' (Indonesia Indah). Namun suasa ini berakhir karena munculnya krisis ekomoni dunia yang besar (Great Depression/malaise)


Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement