Ahad 07 Mar 2021 05:01 WIB

Imaji Nunggang Macan Dalam Filosofi Kekuasaan Jawa

Imaji kekuaaan dalam budaya dan pikiran orang Jawa

Eksekusi putra Raja Amangkurat II dengan cara dicekik dan permaisuri serta para dayang-dayangnya di eksekusi dengan cara di lempar ke kandang macan yang tidak diberi makan selama berhari-hari.
Foto:

Tapi apakah itu fenomena kekerasan itu khas Indonesia? Ternyata tidak. Bangsa di Eropa, Asia, Afrika, dan Amerika ternyata sama saja. Perguliran kekuasaan di Romawi dan Yunani pun selalu berdarah. Zaman Romawi era Kaisar Nero ibu kota kerajaan dan kaum rakyat banyak disiksa dan dibakar hidup-hidup di sana.

Dahulu pendirian negara yang dibangun para imigran, yakni Amerika Serikat di tahun 1700-an misalnya pun memunculan tragedi berdarah berupa perang saudara dan perbudakan. Juga di Eropa  yang masih belum terlalu lama usai dari aneka kecamuk perang yang bila dikaji lagi di dalamnya juga ada ‘berbau’ konflik agama.

Di Amerika Latin dan negara-negara di Afrika apalagi. Ada sebutan yang akrab soal kekuasaan di berbagai negara itu yang diolok-olok bila setiap bangun pagi pasti sang penguasa selalu baru. Di sana ada sosok diktator seperti Juan Peron di Argentina. Atau Idi Amien di Uganda yang diperlakukan pejoratif dengan disebut ‘Presiden yang suka memangsa daging manusia’. Semua serba brutal bukan?

Jadi jangan terlalu heran dengan orang Jawa yang terkesan sopan-santun atau lemah lembut. Ingat mereka bukan alien atau penduduk angkasa luar sehingga langgam perilaku tersendiri. Mereka juga makhluk bumi pula. Wajar sekaligus masuk akal bila ada pihak yang mengatakan sebenarnya perilaku orang Jawa terhadap kekuasaan galibnya ‘macan yang sedang tertidur’ sebab mendadak bisa bangun keras mengaum atau bahkan mengamuk tak terkendali (diserap ke dalam bahasa Inggris jadi ‘Amock’). Orang Jawa yang keseharian terkesan bersikap ‘mengalah’ berkata terjaga dan lirih itu sebenarnya menyimpan energi kemarahan terdahap kekuasaan yang dirasa menindas batinnya. Di sini ada falsafah 'Tiga Ng': Ngalah (mengalah), ngalih (berpindah), ngamuk (bertindak membabi buta).

Jadi sekilas memang orang Jawa punya budaya diam karena sejak leluhurnya mereka kerap terpinggirkan oleh kekuasaan. Cara bermusyawarahnya yang pada zaman milenial ini disebut 'demokrasi' pun unik. Ini karena hasilnya bisa ditentukan oleh orang yang lebih tua dan berpengaruh meski sosok itu tidak ada dalam ajang yang disebut sebagai musyawawah itu. Berbeda atau tidak seegaliter dengan bentuk musyawarah dalam rapat adat di masyarakat luar Jawa yang lebih lugas dan susah dintervensi oleh pihak yang berada di luar ajang musyawarah.


Bahkan dalam titik ini, ada yang sampai hati mengatakan pula bila penjajah Belanda bukanlah pihak yang sebenarnya menjajah penduduk Jawa karena mereka membuat kamuflase canggih. Pejabat kolonial Belanda tak pernah menjajah penduduk Jawa secara langsung, tapi menjajah lewat elitnya (meminjam tangan orang lain/nabok nyilih tangan). Jadi Belanda sebenarnya hanya mengendalikan segilintir elit agar menurut segala kemauannya, kemudian elite (priyayi) itu baru kemudian menjajah rakyat yang secara langsung.

Caranya lainnya, berbagai kerajaan dibiarkan tetap eksis meski hanya dijadikan lambang budaya saja. Roda pemerintahan yang langsung bersentuhan langsung dengan rakyat mereka cabut. Administrasi negara dikendalikan oleh kolonial melalui kepanjangantangannya, yakni wakil raja (mahapatih).


 

photo
Tiga Orang Perwakilan Dari Keraton Surakarta saat menghadiri Perayaan Ulang Tahun Perkawinan Ratu Wilhelmina di Negeri Belanda Tahun 1923."  (Foto: Indonesia Tempo Doeloe, W. Van Dee Pool, Gahetna.nl)

Alhasil, dari dahulu leluhur Jawa pun sebenarnya sudah punya persepsi sendiri berupa ‘pasemon’ atau kiasan terhadap kekuasaan dan orang yang berebut, berburu, serta ingin berkusa. Ada sebutan ‘wong kuasa iku koyo nunggang macan’ (berkuasa itu seperti orang naik di punggung harimau: ketika akan naik ke atas macan mereka berebut sekaligus ketakutan, ketika sudah berada di atas punggungnya mereka bisa menjadi sosok menakutan.

Namun ketika akan turun dari posisi yang sebelumnya berada di atas punggung itu, yang berkuasa pun ketakutan sebab bisa dimangsa sang macan. Episode berburu macan ini dalam budaya jawa dikenal dengan kiasan berupa festival berburu binatang buas itu yang diberi nama ‘rampogan sima’.


Macan di Rampogan Sima, Saat Kiai dan Simbah Dibunuh

 

Keterangan foto: Eksekusi putra Raja Amangkurat II dengan cara dicekik dan permaisuri serta para dayang-dayangnya di eksekusi dengan cara di lempar ke kandang macan yang tidak diberi makan selama berhari-hari.

Hebatnya lagi, nasihat lain juga perlu direnungkan terutama bagi para keluarga dan orang-orang disekitar lingkar kekuasaan. Hal itu adalah ujaran ‘Ojo kudungan welulang macan’ (jangan berkurudung/berlindung kepada kulit harimau). Yang arti sederhananya adalah janganlah suka berlindung di balik kekuasaan agar terlihat menakutkan, berwibawa, atau 'gahar'.

Celakanya lagi, di masyarakat Jawa kerap menyimpan dendam dan konflik berdarah sampai turun ke generasi tingkat tujuh. Tentu masih ingat kisah kutukan Empu Gandring yang mengeksiskan kekuasaan Ken Arok saat membunuh Adapati Tumapel dan kemudian meratakan jalan menuju singgasana kekuasaan selaku Raja Singasari. Di kisah ini, rakyat jelata cuma diberlakukan sebagai obyek penderita layaknya Kebo Ijo yang jadi korban ambisi kekuasaan sahabat karibnya, yakni Ken Arok itu.

Pun perlu diingat pula adanya ujaran Jawa klasik yang lain yang terkait imbas dendam dan konflik. Ada pepatah begini: dadiyo godong tan sinuwek dadiyo banyu nora cinawuk (bila pun jadi daun tidak akan sudi menyobek, bila jadi air tak akan mau menciduk). Berburu kekuasaan di Jawa ternyata telah mengakibatkan pendarahan kesumat hingga lintas zaman.

Maka ojo gumunan, ojo kagetan, ojo dumeh. Dan juga: Ojo Adigang. adigung, adiguno! (besar kepala). Ya, terutama, pada segala sesuatu yang terkait dengan kekuasaan.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement