Ahad 28 Feb 2021 08:27 WIB

Quo Vadis NU Menuju Abad Kedua

NU Menuju Abad Kedua

n program vaksinasi kepada 98 kiyai, ulama, dan tokoh Nahdlatul Ulama, Selasa (23/2).
Foto:

Gerakan Pemberdayaan

Nilai-nilai keteladanan apa yang seharusnya kita petik dari para pendiri (muassis) NU dalam konteks gerakan kita saat ini?

Setidaknya, ada dua hal prinsip yang mesti ditanamkan dan dikembangkan. Yakni, kepatuhan dan kepeloporan. Keduanya tak bisa dipisahkan, namun haruslah bersifat impersonal. 

Bahwa kepatuhan secara personal kepada kiai, sebagai pimpinan tertinggi, tak boleh dilanggar. Namun, menempatkan para kiai hanya secara formal dan simbolik, harus ditegaskan, adalah bagian dari pelanggaran. Kiai, sebagaimana Hadlratus-Syaikh dulu menempatkan Sang Guru, Syaikhona Kholil, sebagai sumber inspirasi yang menguatkan gerakan itu sendiri. Dengan demikian, menempatkan kiai sekadar sebagai alat "legitimasi" sangatlah jauh dari keteladanan Hadlratus-Syaikh KH Hasyim Asy'ari.

Loyalitas institusional untuk saat ini mestilah dikedepankan sebagai agenda prioritas, dengan membangun sistem dan tatakelola organisasi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas yang tinggi. Modal kultural NU sangatlah kuat. Dengan kekayaan khazanah keilmuan dan tradisi yang dimiliki, NU tak akan pernah kehilangan jatidiri. NU akan selalu kokoh menancapkan akarnya dalam dinamika peradaban nusantara, bahkan dalam pentas dunia. Inilah sejatinya keyakinan "supra-rasional" dari Ya Jabbar, Ya Qahhar itu sendiri.

Agenda prioritas lain adalah kepeloporan yang harus dikembangkan secara organisasional untuk meningkatkan peran keumatan. Dalam hal ini, gerakan pemberdayaan menjadi keniscayaan bagi NU ke depan. Inilah yang direkomendasikan dalam Peta Jalan NU Abad Kedua, yang telah dipresentasikan oleh Tim Yayasan Tali Buana di PBNU pada 2019 yang lalu.

Tentu, pemberdayaan dimaksud lebih kepada gerakan ekonomi. Karena, disitulah sebenarnya persoalan mendasar yang dihadapi jamaah nahdliyin secara nyata di seluruh Indonesia.

Pemberdayaan ekonomi jika fokus dilakukan secara massif dalam satu periode kepengurusan saja di setiap daerah, sudah dapat dipastikan akan terlihat hasilnya. Apalagi gerakan Kotak Infaq (Koin) NU yang selama ini berjalan, yang justru tumbuh dari bawah, semakin membuktikan bahwa kemandirian itu nyata. Inilah yang menjadi modal "finansial" dasar gerakan pemberdayaan itu sendiri.

Kita bisa lihat misalnya, PCNU Kabupaten Sragen dapat menggerakkan Koin NU dalam setahun bisa menghasilkan 5,2 Milyard. Ini menarik, mengingat Sragen bukanlah basis NU. Beda dengan Magelang, Wonosobo, atau Pekalongan, misalnya.

Yang kemudian mesti dirumuskan adalah bagaimana gerakan pemberdayaan itu secara khusus "menstimulasi" tumbuhnya komunitas pelaku usaha, terutama Mikro dan Kecil, dimana mayoritas mereka adalah nahdliyin. Apalagi para pedagang kecil, para PKL, pedagang sayuran dll. Bagaimana agar mereka semua menjadi kelompok wirausahawan atau pelaku usaha yang mandiri.

Dalam konteks itu, berbagai kesulitan yang mereka hadapi selama ini, yang bersifat struktural sekalipun, tidaklah sulit dipecahkan. Jika mereka harus memperoleh kebijakan "protektif" dari pemerintah, bukankah banyak kader NU yang saat ini telah menduduki jabatan penting di pemerintahan?

Semarang, 27 Februari 2021

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement