Ahad 28 Feb 2021 05:40 WIB

Perang Mematikan Perancis-Makassar di Thailand

Perang Mematikan Perancis-Makassar di Thailand

Perang Makassar
Foto:

Maka terjadilah pemberontakan pada akhir 1686 antara koalisi para pemukim Champa, Melayu, Persia dan para Pangeran Ayutthata yang anti-Eropa melawan pasukan Kerajaan Siam yang dibantu serdadu Eropa.

Raja Phra Narai akhirnya mengetahui rencana makar itu. Komunitas Melayu, Champa dan Kamboja pun kemudian memohon pengampunan yang serta merta diterima oleh Raja. Daeng Mangalle pun diminta juga untuk memohon ampun, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Daeng Mangalle.

Daeng Mangalle menolak tunduk memohon ampunan kepada Sang Raja atas tuduhan dirinya sebagai inisiator rencana kudeta. Meskipun kemungkinan Daeng Mangalle mengetahui rencana kudeta tersebut.

Tentang penolakan meminta maaf ini, sejarawan Perancis Christian Pelras menulis : "Hanya pangeran Makassar yang menolak meminta maaf. Alasannya, dia tidak pernah mau memberontak. Hanya saja kesalahannya adalah bahwa dia tidak melaporkan rencana pemberontakan orang Melayu dan Campa kepada Raja Siam - alasan sang Daeng karena dia juga tidak mau mengkhianati ke dua sahabatnya dengan membuka rahasia yang telah di percayakan kepadanya. Bagaikan buah simalakama."

Gelarnya sebagai Pangeran Makassar mendasari sikapnya untuk tidak menjadi seorang pengadu. Ia memilih mati di medan tempur ketimbang dipaksa mengakui dirinya sebagai bagian dari kelompok pemberontak. Ia berkata dengan jelas dihadapan Raja:

"Mengenai orang yang telah menghadap Paduka, saya harus katakan bahwa saya tidak memercayainya sedikit pun, karena sekarang ini perdana menteri Ayutthaya adalah orang Prancis (Constantine Phaulkon) dan antara saya dan dia ada saling benci dengan alasan perbedaan agama," ujarnya saat menghadap Yang Mulia Phra Narai seperti ditulis sejarawan Bernard Dorleans dalam buku "Orang Indonesia & Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX" (KPG, 2006).

Akibat tindakannya itu, selama satu bulan wilayah kampung Makassar dikepung oleh pasukan Siam. Pada akhirnya Sang Raja pun mulai kehilangan kesabaran dan kemudian memutuskan menggunakan kekuatan militer untuk memerangi masyarakat Makassar yang dinggap kepala batu itu.

Claude de Forbin yang memimpin garnisun Prancis di benteng Bangkok menerima perintah Raja untuk memblokir keberangkatan dua perahu perahu Makassar yang berniat meninggalkan kerajaan Siam.

Seuntai rantai yang direntangkan melintasi sungai mengharuskan satu delegasi yang terdiri dari enam orang Makassar datang bermusyawarah dengan prajurit Prancis tapi mereka menolak keras untuk takluk. Badik mereka dilucuti dan disita. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement