Sang ayah, Mohammed (46) mengatakan penyebab utama di balik semua cobaan ini adalah lokasi rumah yang strategis. Keluarganya memiliki properti di lingkungan al-Sharaf yang sudah di bawah kendali Israel.
Pada 2004, dia menggugat Kementerian Agama Israel dan menuntut mereka untuk mengembalikan properti yang mereka sita. Salah satu propertinya diubah menjadi sinagoga.
Karena tingginya biaya kasus dan tekanan besar yang dihadapi keluarga, Mohammed tidak mempunyai pilihan selain menahan diri untuk tidak melanjutkan kasus ini. Setelah kasus pengadilan, otoritas pendudukan Israel meningkatkan tekanan mereka pada Mohammed. Mereka mulai sering menyerang rumahnya di Yerusalem.
Pada saat Hisham berusia 13 tahun, tentara Israel mulai mengganggunya. Tentara Israel juga mengganggu Hatim dan Abdul-Rahman.
“Ketiga anak laki-laki saya dan saudara perempuan mereka, Baylasan tidak pernah menikmati masa kecil yang damai,” kata Mohammed.
Sebaliknya, masa kecil mereka ditandai dengan penggerebekan, penyerangan, penangkapan, pemukulan, penyiksaan, perpisahan, dan tahanan rumah. “Otoritas pendudukan Israel berusaha menghancurkan mereka karena mereka sholat di Masjid al-Aqsa secara teratur dan menjaga hubungan sosial yang baik dengan penduduk Kota Tua,” ujar dia.