Senin 22 Feb 2021 04:59 WIB

Relasi Aceh-Turki Rasa Nusantara

Sejarah relasi Aceh-Turki.

Peta Tanah Jawi dan kedaulatan Aceh dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1838-1870) tersimpan di Arsip Turki Usmani Istanbul
Foto:

Dari Fajar hingga Debu 

Sejak kapan awalnya hubungan Aceh dan Turki terjalin belum bisa dipastikan. Namun, Sumber Portugis menerangkan bahwa ada bantuan militer dari luar yang menguatkan posisi politik Sultan Ali Mughayat Syah yang berkuasa dalam dua Kesultanan antara tahun 1497-1530.

Dukungan ini kemudian mendapat penjelasan dari korespondensi Sultan Ibrahim Mansyur Syah ke Istanbul abad ke-19 yang berbahasa Melayu yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Arab dan Osmani sebelum menggapai tangan Sultan Turki. Dalam surat itu, ia menyebut bahwa Turki telah mengirim dukungan pada Aceh sejak zaman kedaulatan Sultan Selim Khan yang periode kuasanya disepakati bersinambungan dengan zaman Sultan Ali Mughayat Syah di Aceh. Nah, di sini terletak perdebatannya. Turki Usmani memiliki dua Sultan Selim. Sultan Selim I hidup antara tahun 1470-1520. Dalam surat Sultan Ibrahim Mansyur Syah yang berbahasa Melayu bertahun 1850 itu, hanya disebutkan Sultan Selim Khan. Namun, dalam suratnya yang berbahasa Arab, ada sebutan Sultan Selim Khan ibn Sultan Sulayman ibn Sultan Selim Khan al Futuh. Kajian mendalam lebih lanjut perlu dilakukan. 

Walaupun begitu, pada level perpanjangan dagang, orang Turki sudah terlihat meramaikan pelabuhan-pelabuhan di Aceh/Pasai pada abad ke-15 dan berlanjut dalam berbagai bentuk hingga awal abad ke-20.  

Bantuan militer Turki diberitakan pertama kali menjangkau Aceh pada masa Kedaultan Sultan Ali Riayat Syah al Qahhar, anak lelaki dari Sultan Ali Mughayat Syah. Bantuan itu ada dalam bentuk tentara, ahli pembuat senjata, meriam, dan beberapa kapal perang. Dari sini, tumbuh perkampungan-perkampungan yang dihuni oleh orang Turki, seperti Bitay, Emperom, Pande, Tamiang, juga kawasan lainnya di Sumatra. 

Kemudian, barangkali ada yang bertanya, apakah Aceh membayar upeti sebagai balasannya? 

Dalam beberapa sumber, disebutkan bahwa Turki menolak upeti dari Aceh dikarenakan faktor jarak. Namun, sebagai gantinya, budaya maulid yang dilakukan di Turki juga bisa dilakukan di Aceh sebagaimana yang dikemukan oleh Saffet Bey (1911/1912). Aceh hingga saat ini merayakan Maulid meskipun dengan durasi yang berbeda. 

Hubungan diplomatik militer pada zaman al-Qahhar dirayakan--oleh karena itu bisa dikenang dari generasi ke generasi--dalam naskah lokal, seperti Naskah Meukota Alam yang ditulis pada zaman Sultan Iskandar Muda abad ke-17. selain itu, Nyak Dum, sang utusan ke Istanbul, juga sering dinyanyikan lewat tembang-tembang dalam tarian Seudati. 

Diperkirakan, hubungan dengan Turki terus berlanjut pada masa sultan-sultan berikutnya, meskipun tidak selalu dalam bentuk hubungan politik-militer. 

Dalam keseluruhan abad ke-19, ada empat gelombang utusan yang dikirim, tahun 1837, 1841, 1845, dan 1849. Belum bisa dipastikan apakah utusan-utusan sebelum tahun 1849 itu betul-betul sampai ke Istanbul. Jelasnya, dari keseluruhan upaya diplomasi tersebut, tidak ada satu pun yang berhasil mendatangkan bantuan demi melawan agresi Belanda. Ini dikarenakan situasi perpolitikan dan perekonomian Turki yang merosot. Meskipun begitu, masyarakat Turki termasuk intelektual dan pemegang kebijakan kesultanan menyuarakan dukungan terhadap Aceh dan kritikan terhadap Kesultanan Turki seperti yang kita baca dalam keluaran-keluaran koran Basiret di Istanbul dalam tahun 1870-1875.

Hubungan Aceh dan Turki pada akhir abad ke-19 dan awal 20 menjadi hal yang sensitif untuk pemerintahan kolonial. Kontak dengan Aceh diawasi ketat, konsul jenderal Turki di Jakarta dan Singapura mendapat ultimatum dan ancaman sanksi jika mencampuri urusan masyarakat koloni, apalagi membantu kelompok pembangkang rezim kolonial. 

Dan Jika kita pantau, efek kebijakan ini masih terasa secara lunak hingga saat ini.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement