Sabtu 06 Feb 2021 05:38 WIB

Marak Covid-19 Klaster Pesantren, Salah Siapa?

Pondok Pesantren Miftahul Huda, Cigaru, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tampak sepi.

Pondok Pesantren Miftahul Huda, Cigaru, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, tampak sepi. Dari sekitar 1.000 santri, hanya 120 santri yang tinggal di pesantren, lainnya diliburkan, setelah wabah Covid-19 melanda pesantren ini pada Januari 2021.
Foto:

Persoalan sanitasi

Ponpes Cigaru bukan satu-satunya pesantren di Cilacap yang menjadi klaster penyebaran Covid-19.

Sebelumnya, Ponpes yang berada di kecamatan yang sama, El Bayan, juga terpapar Covid-19.

Jumlahnya lebih spektakuler, yakni 497 kasus positif dari 1.070 orang yang menjalani tes usap (swab tests).

Durasi perang melawan Covid-19 di pesantren ini lebih panjang.

Terdeteksi pertama pada akhir September, pandemi Covid-19 di El Bayan baru dinyatakan berakhir pada November.

Ketua Yayasan El Bayan Majenang, Fathul Amin Aziz mengaku tak bisa menduga-duga muasal munculnya Covid-19 di pesantren ini.

Sebab, sejak awal pandemi Covid-19, meski protokol Covid-19 sudah dilaksanakan secara ketat, harus diakui ada beberapa hal yang tak bisa dikontrol.

Kemungkinannya banyak. Mulai dari tamu, acara di luar pesantren, santri mudik, bisa menjadi sumber awal penularan. Ia tak hendak berspekulasi soal penularan.

Kiai yang juga dosen di IAIN Purwokerto itu lebih menyoroti dampak Covid-19 di pesantren.

Sebab, saat Covid-19 sudah mewabah di pesantren, hampir dipastikan angka paparannya akan besar.

Hal itu tak lepas dari tata kelola pesantren yang masih jauh dari kata sehat.

Di asrama misalnya, satu kamar berukuran kecil bisa diisi belasan santri. Bahkan, ada pula kamar yang diisi oleh lebih dari 20 santri.

Aziz bilang, munculnya klaster pesantren dengan jumlah penderita yang tinggi menunjukkan perlunya perbaikan tata kelola pesantren dan penambahan fasilitas.

Salah satu yang penting yaitu kesehatan dan sanitasi.

Bagi dia, Covid-19 di pesantren hanya puncak gunung es dari buruknya kualitas kesehatan.

Para pengasuh pesantren bukannya tak menyadari persoalan ini. Namun, lagi-lagi kemampuan untuk membangun infrastruktur menjadi hambatan.

Dia menyoroti pemerintah yang menurutnya kerap mengabaikan pesantren sebagai institusi pendidikan, yang bahkan lebih tua dibanding pendidikan formal.

Ini berbeda dari pendidikan formal yang anggarannya besar dan ditopang beragam program.

Sementara, pesantren seolah sendirian mendidik anak-anak bangsa.

Tak adil rasanya membandingkan sistem pesantren dengan pendidikan formal, meski secara kurikulum, keduanya amat mirip, kata dia.

Bedanya, ijazah sekolah formal diakui, sedangkan pesantren sebaliknya.

“Kami menyadari itu. Tetapi, kemampuan kami untuk menciptakan lingkungan yang sehat juga terbatas. Saya kira, pemerintah bisa melihat itu,” ujar dia.

Persoalan mendasar pesantren adalah bagaimana menyediakan hunian yang layak untuk santri. Kebersihan dan sanitasi menjadi hal yang paling sulit diterapkan.

Tak aneh, jika berbagai penyakit muncul di sebagian pesantren. Pada masa pandemi Covid-19 pesantren juga sulit menerapkan protokol kesehatan, terutama soal jaga jarak.

Sebab, dengan lingkungan yang terbatas, sulit bagi santri untuk menjaga jarak dari rekan lainnya. “Kalau Covid-19 sudah masuk ke pesantren. Penyakit lain juga sama saja, akan sulit dikendalikan,” ucap dia.

Menurut dia, di sini lah peran pemerintah merespons pandemi dengan bijak. Pemerintah perlu menggali penyebab munculnya berbagai penyakit di pesantren sekaligus mencari solusinya.

Dia juga mendorong agar pemerintah membantu pesantren dengan bantuan-bantuan tepat guna.

Kiai yang mantan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Purwokerto ini membandingkan pesantren dengan rumah tahanan (Rutan) dan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas).

Di rutan dan lapas, tahanan dan napi disediakan asrama, MCK, hingga makanan dan buah-buahan difasilitasi oleh negara. Ini justru berkebalikan dengan pesantren, yang merupakan pusat pembangunan ilmu dan ketakwaan.

Berada di bawah Kementerian Agama, anggaran pesantren sangat minim. Bahkan, selama ia mengelola Pondok Pesantren El Bayan, lebih dari 10 tahun, tak ada satu pun infrastruktur bantuan pemerintah.

“Membandingkan memang tidak baik akan tetapi jika buktinya empiris apa masih perlu diperdebatkan. Barangkali butuh revolusi mental agar DPR juga tidak usah protes tentang fasilitas yang ada di penjara karena akan menyakitkan ‘orang lain’,” kata Aziz.

Orang lain yang dimaksud Aziz, misalnya pesantren, panti asuhan, panti jompo, dan tempat ‘orang-orang baik’ yang mestinya difasilitasi negara.

Kondisi ini memaksa banyak pesantren harus mengandalkan bantuan masyarakat. Pengelola pesantren juga berupaya mengajukan proposal demi mendapatkan bantuan negara.

Namun nyatanya, dalam beberapa kasus, tanpa jaringan di atas, proposal itu tak digubris. Pondok kadang dikenal dengan menunggu belas kasihan masyarakat.

"Namun bukan isapan jempol bahwa proposal tidak cukup tanpa jaringan. Pondok miskin jaringan jadi berkali-kali menyusun proposal tapi tanpa hasil," ujar dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement