Selasa 02 Feb 2021 10:09 WIB

Dari Abu Lahab Murokab, Gatoloco, Hingga Jahiliyah Digital

Kisah tentang jahilyah dunia literasi dan digital.

Buku stensilan Gatolotjo
Foto:

Renungan itu terasa keras menggedor kesadaran. Di media sosial orang terlihat dengan gampang memaki apa saja yang dianggap suci oleh Muslim. Tak ada ragu dan menganggap hal itu absah karena dianggapnya negara ini tak butuh dengan agama, termasuk tak membutuhkan dukungan umat Islam.

 
Mereka kadang teriak seraya menujuk kepada orang lain bahwa 'agama dan Tuhan tidak peru dibela'. Namun, ketika berbicara kepada diri sendiri dan kelompoknya mereka mengatakan bahwa apa yang dilakukannya adalah demi menambah kemuliaan 'Tuhan' atau kepentingan yang diyakininya.

Bila di zaman lalu ada Darmog Gandul, Gatoloco, hingga cerpen "Langit Makin Mendung"-nya Ki Panji Kusmin, apa yang disebutkan anak 'zaman old' itu belum sevulgar dan meluas seperti sekarang ini.

Celakanya lagi, mereka juga tak bersikap kesatria arena banyak di antara para penulis kebalanan itu tidak berani menyebut jati dirinya alias dengan membuat akun palsu. Dan bila ada yang berani memakai nama yang jelas, maka ketika ditangkap polisi mereka segera bersikap cemen; menangis dan kelojotan tak keruan dan memohon-mohon minta ampun.

Tapi, apa sih sebenarnya yang terjadi. Maka, jawabnya jelas, begitu banyaknya sikap dan tulisan yang banal terhadap ajaran Islam jelas menunjukkan sentimen terhadap Islam kini tengah menanjak naik. Lalu, Islam yang seperti apa yang harus dipandang sentimen atau negatif? Jawabnya, ya seperti ajaran Snouck Hurgronje bahwa Islam politiklah yang harus ditebas habis, Islam ibadah tak diganggu alias dibiarkan berjalan seperti biasa.

Adanya situasi itu, tepat bila kita mengkaji kembali pandangan sejarawan Australa, MC Ricklefs, mengenai soal Gatoloco (lihat buku: Mengislamkan Jawa, Serambi, Cet 1 November 2013), Ricklefs menyatakan bila di antara kaum priyayi di Jawa pada masa itu memang tumbuh sentimen anti-Islam. Mereka beranggapan bahwa peralihan keyakinan ke Islam adalah sebuah kesalahan dan bahwa kunci modernitas yang sesungguhnya terletak kesalahan peradaban.

Selain itu, mereka pun percaya bila kunci modernitas yang sesunguhnya itu terletak pada penggabungan pengetahuan moderen ala Eropa dengan restorasi kebudayaan Hindu–Jawa. Islam dalam hal ini dipandang sebagai penyebab mundurnya wujud paling agung dari kebudayaan tersebut: Kerajaan Majapahit.

Pada tahun 1870-an, para penulis dari Kediri memang telah meramu gagasan-gagasan semacam ini di dalam tiga karya sastra yang ‘mengagumkan’, Babad Kedhiri, Suluk Gatholoco, dan Serial Dermagandul, dan mengolok-olok Islam. Karya tersebut ini meramalkan bahwa penolakan terhadap Islam akan terjadi empat abad setelah kejatuhan Majapahit.

Rickles menengarai, buku itu mungkin ditulis untuk memperingati berdirinya sebuah sekolah milik pemerintah kolonial bagi kaum elite di Probolinggo pada 1878 atau 400 tahun setelah runtuhnya Majapahit sebagaimana secara tradisional diyakini–dan bahkan orang Jawa akan menjadi pemeluk agama Kristen.

Pada bagian lain dalam buku itu, Ricklefs lebih lanjut menyatakan bila Babad Kediri yang ditulis pada 1873 itu menampilkan satu sejarah yang konon rahasia tentang kemenangan Islam di Jawa, kabarnya terjadi karena pengkhianatan Sultan Demak pertama yang memerangi ayahnya sendiri dengan para wali di sekitarnya. Di sinilah muncul Sabdo Palon, penasihat Raja Majapahit, yang mendesak Sultan mempertahankan keyakinan Buddhanya. Ternyata, Sabda Palon adalah dewa punakawan Semar. Pelindung 'adidunia' bagi semua orang Jawa.

Dalam kajiannya itu Ricklefs juga menyatakan, Suluk Gatholoco--benar-benar kasar dan gila-gilaan–ditulis tidak lebih lama dari tahun 1872. Karya ini menghina Islam dari berbagai segi, bahkan menafsirkan ulang kalimat syahadat sebagai metafora hubungan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement