Selasa 02 Feb 2021 10:09 WIB

Dari Abu Lahab Murokab, Gatoloco, Hingga Jahiliyah Digital

Kisah tentang jahilyah dunia literasi dan digital.

Buku stensilan Gatolotjo
Foto:

Sedangkan buku ketiga, Serat Dermagandhul, menggabungkan revisionisme Babad Kedhiri dan kegilaan cabul Gatoloco. Karya ini meramalkan bahwa setelah tiga tahun (yaitu pada 1970-an) orang Jawa akan mengabdikan diri mereka pada pembelajaran modern dan menjadi orang Jawa sejati kembali dan kemudian pindah agama ke Kristiani.

Dari cerita para orang tua, buku-buku itu yang gampang ditemukan pada era Soekarno, tetapi di larang selama Orde Baru. Namun, pada 2005 dan 2006 Dermagandhul diterbitan ulang di Surakarta dan Yogyakarta oleh pengarang yang tampaknya berbeda dan menggunakan nama samaran (noms de plume) dari satu penulis yang lebih suka namanya anonim karena takut masih adanya larangan resmi penerbitan.

Namun, beberapa waktu silam, stensilan buku Gatoloco versi penerbit Tan Khoen Swie, Kediri, Tjetakan ke V tahun 1958 memang terbukti masih bisa didapatkan. Di kios buku antik yang berada di pinggiran Alun-Alun Utara Surakarta (tak jauh dari Kraton dan Masjid Besar Surakarta). Sampul gambar buku ini memakai lukisan sketsa seorang lelaki yang duduk bersimpuh di depan seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah gua. Perempuan itu digambarkan dengan memakai kebaya dan kain. Lekuk tubuh keperempuannya terkesan ditonjolkan.

Jadi, soal sentimen dan laku banal terhadap ajaran Islam, sudah berlangsung semenjak zaman jahiliyah sampai zaman modern ini. Namun, dari waktu ke waktu, kekasaran dan kebanalannya kian bertambah. Tingkat tindakan nekadanya kini sudah berlipat-lipat dari Abu Jahal dari suku Quraisy yang jahiliyah (bodoh atau tak beradab) itu karena disebarkan secara sangat masif melalui sarana zaman canggih media sosial yang menembus segala batas waktu, media, dan ruang.

Jadi, tepat bila Emha menyebut zaman ini adalah zaman ultrajahilyah dengan munculnya sosok Abu Lahab murakab alias kuadrat. Entah siapa yang mampu mengurangi kejahiliyahan ini?

Maka, belajarlah. Ingat media sosial terbukti telah menghancurkan begitu banyak negara, terutama negara yang terkena angin pusaran kehancuran ‘Arab Spring!

Maka marilah kita renungi nasihat pujangga sufi tanah Jawa, Ranggawarsita:

Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi. Melu edan ora tahan, yen tan melu anglakoni, Boya keduman milik, kaliren wekasanipun. Ndilalah kersaning Allah, begja begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada.

(Menyaksikan zaman edan, tidaklah mudah untuk dimengerti. Ikut edan tidak sampai hati. Bila tidak ikut, tidak kebagian harta, akhirnya kelaparan. Namun kehendak Tuhan. Seberapa pun keberuntungan orang yang lupa. Masih untung (bahagia) orang yang (ingat) sadar dan waspada).

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement