Senin 04 Jan 2021 10:56 WIB

Lanjutan Serial: Memahami Pan Islamisme dan Khilafah

Memahami sejarah Pan Islamisme dan Khilafah

Para orang kaya di zaman Ottoman (ilustrasi)
Foto:

Katolik Suriah Anggap Khilafah Usmaniyah Fiksi Belaka

Terjadi perbedaan pendapat terkait di mana Selim I menerima gelar dan legitimasi sebagai Khalīfah dari al-Mutawakkil III. Ada yang mengatakan prosesi tersebut berlangsung di Masjid Aya Sophia di Istanbul, ada pula yang menyebut di Masjid Agung Aleppo pasca- pertempuran Marj Dābiq.

Yang jelas, sebagaimana yang ditandaskan oleh İnalcik, setelah peristiwa ini dinasti ‘Uṡmāniyyah bukan lagi hanya sekedar negara tapal batas antara dunia Islam dengan Eropa. Tapi juga sebagai Khilāfah Islāmiyyah, dan sultan-sultannya bukan lagi berfungsi hanya sekedar penjaga tapal batas wilayah Islam di perbatasan Eropa, namun sekaligus pelindung kaum Muslim di seluruh dunia.

Dalam literatur ‘Uṡmānī, sebutan “Khalīfah” untuk Yavuz Sultan Selim terdapat pada manuskrip yang ditulis oleh Lüṭfi Paşa yaitu Tevariḫü’l-Osman (Ar. Tawārikh al-‘Uṡmān, Sejarah-Sejarah Dinasti ‘Uṡmānī).

Dalam Tevariḫ, Lüṭfi menulis adanya dua ulama dari daerah Transoxania yang menyebut Selim sebagai “Alexander Kedua” (Iskender-i Sani); “Mahdī Akhir Zaman” (Mehdi’ye Aḫir-i Zaman); dan “Kekuatan Ilahi” (Ḳudret-i Ilahi). Selim juga disebut sebagai “Syāh yang duduk di takhta Khilāfah” (Ḫilafet-serirun şahi) dan “Khalīfah Allah dan Nabi Muḥammad” (Khoda-ra o Meḥmed-ra Ḫalife).81

Bagaimana dengan status Khilāfah yang disandang dinasti ‘Uṡmāniyyah, sedangkan mereka bukan berasal dari trah Quraisy? Sebagian ulama yang menulis kitab-kitab fiqh siyāsah memasukan syarat Quraisy sebagai pra-syarat kepemimpinan Khalīfah, berdasarkan pada salah satu hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alayhi wa sallam:

  • Sesungguhnya kepemimpinan ini berada di Quraisy, tidaklah seseorang memusuhi mereka, kecuali Allah yang menelungkupkannya dalam neraka di atas wajahnya, selama mereka (orang Quraisy) menegakkan agama. (inna haża al-amr fī Quraisyin lā yu’ādīhim aḥadun illā kabbahullāhu fī al-nār ‘alā wajhih mā aqāmū al-dīn). 

Selain pra-syarat kedudukan Khalīfah yang lain seperti harus Muslim, laki-laki, mencapai usia balig, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas Khilāfah.

Hal ini ramai diperdebatkan saat itu di awal abad ke-16, dan mulai diramaikan lagi di masa kolonial ketika Inggris dan Prancis berusaha mendelegitimasi kepemimpinan Khilāfah ‘Uṡmāniyyah atas dunia Islam melalui agitasi para nasionalis Arab di akhir abad ke-19.

Isu ini pertama kali dibawa ke tengah perdebatan publik di abad ke-19 oleh Luwīs Ṣābūnjī, seorang Katolik Suriah yang bermukim di London, yang menerbitkan surat kabar al- Khilāfah di mana di dalamnya ia menyatakan bahwa gelar Khalīfah yang disandang dinasti ‘Uṡmāniyyah hanyalah fiksi belaka.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement