Jumat 01 Jan 2021 04:59 WIB

Teringat Nasib Tragis Masyumi

Kisah tragis Masyumi melawan rezim otoriter

Dari Kiri ke Kanan: Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Sutan Sjahrir, Murad, Soebadio Sastrosatomo, menghadap Presiden Sukarno membahas pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di Istana Merdeka, 24 Juli 1960. .
Foto:

Putusan itu akhirnya tiba. Apapun jawaban Partai Masyumi tampaknya tak berpengaruh pada pemerintah. Meski Masyumi secara yuridis berdiri di atas landasan yang kokoh, namun Soekarno  tetap membubarkan partai Masyumi. Ini karena dianggap terlibat pemberontakan dengan mengeluarkan kepres nomor 200 pada tanggal 17 Agustus 1960.

Tanggal 17 Agustus 1960, pukul 5.20 pagi, sepucuk surat diterima Pimpinan Pusat Masyumi. Surat yang berasal dari Direktur Kabinet Presiden itu menyebutkan sebagai berikut:

“Paduka Yang Mulia Presiden telah berkenan memerintahkan kepada kami” untuk menyampaikan keputusan Presiden (No.200/1960) bahwa Partai Masyumi harus dibubarkan. Dalam 30 hari sesudah tanggal keputusan ini, yaitu 17 Agustus 1960, pimpinan partai Masyumi harus menyatakan partainya bubar. Pembubaran ini harus diberitahukan kepada Presiden secepatnya. Jika tidak, maka partai Masyumi akan diumumkan sebagai “Partai Terlarang.”

Partai Masyumi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

  • Keterangan foto: Soekarno berbincang dengan M Natsir dalam sebuah acara perhelatan Masyumi.

Pada 13 September 1960, Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution kemudian membubarkan Partai Masyumi. Empat hari sebelumnya, Masyumi diwakili oleh Moh. Roem, sebagai pengacara untuk menggugat Presiden di pengadilan karena telah melanggar UUD 1945 da oleh karena itu Penpres tersebut tidak sah. Tiap Tindakan yang didasarkan atas Penpres merupakan suatu Tindakan yang melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang juga bisa digolongkan penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir).

Namun gugatan ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pemerintah.

Dan memang dalam hal ini menjadi menarik mengetahui sebab Prawoto dan Yunan Nasution memilih membubarkan partai tersebut, alih-alih dibubarkan oleh pemerintah.

Jawaban dari soal itu kemudian menjadi jelas. Sikap atau pilihan membubarkan diri dilakukan karena menurut pemikiran para tokoh Masyumi, dengan membubarkan diri maka Partai Masyumi bukanlah partai terlarang dan dapat menghindarkan anggotanya dari kemungkinan berstatus anggota partai terlarang beserta bahayanya.

Tapi lagi-lagi, keputusan membubarkan diri dari pada dijadikan partai terlarang oleh rejim Soekarno tak berarti apa-apa, bahkan terasa naif. Sikap para tokoh Masyumi yang selalu bersandar pada hukum nyatanya tak sejalan dengan rezim Soekarno yang bertindak berdiri mengangkangi hukum.

Akibatnya, keadilan bukan lagi suatu hal yang dapat diharapkan bagi mereka. Keadilan kala itu bagi Masyumi adalah sebuah barang mewah.

Apalagi pada saat yang sama rezim Soekarno mulai menunjukkan praktik-praktik otoriternya. Kekuasaanya yang dijalankanya bukan saja merenggut hak berpolitik para oposisi, namun juga merenggut kebebasan orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah pada saat itu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement