Jumat 01 Jan 2021 04:59 WIB

Teringat Nasib Tragis Masyumi

Kisah tragis Masyumi melawan rezim otoriter

Dari Kiri ke Kanan: Yunan Nasution, Prawoto Mangkusasmito, Sutan Sjahrir, Murad, Soebadio Sastrosatomo, menghadap Presiden Sukarno membahas pembubaran Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia di Istana Merdeka, 24 Juli 1960. .
Foto:

Satu poin penting tampak sekali diarahkan kepada kubu utama anti komunis yakni Masyumi dan PSI, yaitu terdapat pasal 9 dari Pepres itu. Aturannya begini: Presiden, setelah mendengar pendapat Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang “sedang melakukan pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”

Pada 12 Juli 1960, Masyumi menanggapi Penpres tersebut dengan mengatakan bahwa UU kepartaian harusnya dibuat secara objektif. Sebaliknya, tuntutan mengenai pemberontakan (PRRI), menurut Masyumi mereka telah mengeluarkan pernyataan-pernyataan pada 24 Januari, 13 dan 17 Februari 1958. Dari pernyataan tersebut, menurut Masyumi tergambar sikap mereka yang berusaha bersama pemerintah agar peristiwa pemberontakan itu jangan sampai terjadi.

Masyumi, Demokrasi, dan Pluralisme

  • Keterangan foto: Ketua Umum Masyumi, M Natsir berpidato di tengah massa.

Di akhir pernyataannya, Masyumi kemudian menyindir bahwa “…kalau memang jang mendjadi tudjuan utama memang untuk membubarkan atau melarang sesuatu partai, didalam hal sekarang ini antara lain MASJUMI, lebih lebih kalau Tindakan sematjam itu hendak didasarkan semata-mata atas dasar kekuasaan, maka dapat sadja ditjari alasannja.”

Sembilan hari kemudian, pada 21 Juli 1960, Presiden Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masyumi dan PSI. Selama pertemuan 10 menit tersebut, Soekarno didampingi para pejabat negara seperti Jaksa Agung, Kepala Polisi, Direktur Kabinet Presiden, Kepala Staf Komando perang Tertinggi dan lainnya.

Pihak Masyumi sendiri diwakili oleh Prawoto Mangkusasmito dan Yunan Nasution, sedangkan PSI di wakili Sutan Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo, dan T.A. Murad. Mereka diserahi setumpuk daftar pertanyaan yang harus dijawab.

Beberapa pertanyaan yang termuat, pertama, menanyakan apakah Masyumi  menentang dasar dan tujuan negara?

Kedua, apakah Masyumi hendak mengubah dasar dan tujuan negara? Masyumi dengan tegas menyangkalnya. Masyumi menolak disebut bertentangan dengan azas dan tujuan negara, karena Tujuan Masyumi adalah “Terlaksananya ajaran dan hukum Islam di dalam kehidupan orang seorang , masyarakat dan Negara Republik Indonesia, menuju keridhaan Ilahi.” 

Tujuan tersebut menurut Masyumi sesuai dengan asas negara yaitu pembukaan UUD 1945 yang berkedaulatan rakyat yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Masyumi juga menolak disebut berusaha merombak azas dan tujuan negara karena hal tersebut bertentangan dengan azas Masyumi sesuai tafsir azas partai yang disahkan pada tahun 1952.

Ketiga, terkait keterlibatan dengan PRRI, Masyumi menjawab bahwa sejak Penpres tersebut mulai berlaku 31 Desember 1959, para pemimpin Masyumi yang terlibat dengan PRRI telah memisahkan diri atau keluar dari Masyumi. Tak seorang pun para pemimpin partai yang dipilih sejak kongres pada bulan April 1959 terlibat dengan PRRI.

Partai Masyumi juga pada 17 Februari 1958 telah mengeluarkan pernyataan bahwa pembentukan PRRI, Kabinet Karya dan Dewan Nasional adalah inkonstitusional. Semua jawaban ini diserahkan Masyumi seminggu kemudian pada 28 Juli 1960. Soekarno yang bertemu dengan wakil partai selama tujuh menit tersebut hanya mengatakan akan  mempelajari jawaban yang diberikan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement