REPUBLIKA.CO.ID, KOPENHAGEN -- Denmark berencana mengklasifikasikan imigran Muslim dan anak-anak mereka secara terpisah dalam statistik resmi, termasuk dalam kejahatan dan pekerjaan.
Menteri Imigrasi dan Integrasi Denmark Mattias Tesfaye, telah menyuarakan dukungan untuk pemisahan statistik orang-orang keturunan Timur Tengah dan Afrika Utara, dan orang-orang dari Pakistan dan Turki.
Ia bersikeras pemisahan statistik tersebut sangat membantu untuk mengkategorikan orang berdasarkan wilayah guna mendapatkan lebih banyak pemahaman tentang kejahatan di negara Skandinavia tersebut. "Kami membutuhkan angka-angka yang lebih jujur dan saya pikir itu akan menguntungkan dan memenuhi syarat debat integrasi jika kita mengeluarkan angka-angka ini secara terbuka," kata Tesfaye kepada koran Denmark Berlingske, dilansir di The National News, Selasa (15/12).
Tesfaye mengatakan, pada dasarnya pemisahan demikian menunjukkan mereka di Denmark tidak memiliki masalah dengan orang-orang dari Amerika Latin dan Timur jauh. "Kami punya masalah dengan orang-orang dari Timur Tengah dan Afrika Utara," ujarnya.
Sejumlah menteri mendukung pernyataan Tesfaye tersebut. Namun, yang lainnya menganggap itu sebagai pernyataan yang memecah-belah dan menghasut.
Menurut analisis pada Januari lalu, sekitar 4,4 persen populasi Denmark adalah Muslim. Denmark membedakan antara orang-orang keturunan Barat dan non-Barat dalam statistik imigrasi resminya.
Denmark menganggap Uni Eropa, Andorra, Australia, Kanada, Islandia, Liechtenstein, Monako, Selandia Baru, Norwegia, San Marino, Swiss, Inggris, Amerika Serikat, dan Vatikan sebagai barat.
Ketika pejabat Denmark melihat statistik kejahatan mereka, mereka menemukan laki-laki muda dari negara-negara Mena (Timur Tengah dan Afrika Utara), Pakistan dan Turki lebih mungkin melakukan kejahatan daripada di negara-negara non-Barat lainnya.
Mereka juga menemukan, orang-orang dari negara-negara tersebut lebih mungkin menganggur. Pada 2018, 4,6 persen pria muda dari salah satu negara tersebut dikenai dakwaan.
Sementara untuk pria muda di negara non-Barat lainnya ialah 1,8 persen. Statistik pemerintah Denmark menunjukkan perempuan dengan warisan budaya di negara-negara Mena, Pakistan dan Turki memiliki tingkat pekerjaan 41,9 persen pada 2018, dibandingkan dengan 61,6 persen perempuan dari negara-negara non-Barat lainnya, seperti Thailand dan Vietnam.
"Angka-angka baru ini akan memberikan diskusi politik yang lebih jujur tentang minoritas imigran yang menciptakan tantangan yang sangat besar bagi masyarakat kita," kata Tesfaye.
Sebelumnya pada Agustus 2018, Denmark memberlakukan larangan burqa yang kontroversial. Kebijakan itu menyebabkan ratusan wanita Muslim melakukan protes di kota-kota di seluruh negeri.