Selasa 15 Dec 2020 12:22 WIB

Aisyah, Istri Rasulullah yang Kritis

Aisyah berani melakukan kritik terhadap periwayatan sejumlah hadits.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Ani Nursalikah
Aisyah, Istri Rasulullah yang Kritis. Ilustrasi Muslimah
Foto: Mgrol120
Aisyah, Istri Rasulullah yang Kritis. Ilustrasi Muslimah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu istri Nabi Muhammad SAW yang banyak meriwayatkan hadits, yaitu Aisyah r.a. anak dari sahabat Nabi, Abu Bakar. Aisyah tidak hanya aktif meriwayatkan hadits, tapi juga berani melakukan kritik terhadap periwayatan sejumlah sahabat yang lain. 

Ada beberapa sahabat yang ia kritik, yaitu Abu Hurairah, Umar bin Khattab, Ibnu Umar, Jabir, dan Ka’b. Di antara kritik Aisyah, misalnya terhadap Abu Hurairah yang mengutip pernyataan Nabi yang dianggap misoginis terhadap perempuan.

Baca Juga

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan Rasulullah bersabda, “(Perkara yang) membatalkan sholat ialah perempuan, himar, dan anjing,” (HR Muslim dalam Shahih-nya). Mereka yang membaca hadits tersebut akan bertanya-tanya mengapa sholat seseorang harus batal karena ada perempuan, himar, atau anjing yang lewat di depannya.

K.H. Husein Muhammad menjelaskan dalam bukunya berjudul Perempuan Ulama di Atas Panggung Sejarah, mengenai hadits tersebut, Sayyidah Aisyah menunjukkan kemarahannya. Dia mengatakan, “Innal mar’ah la dabbah suu” atau “Apakah perempuan disamakan dengan hewan tunggangan yang buruk? Bukankah Anda melihat sendiri bagaimana aku tidur di hadapan Rasulullah pada saat beliau sholat?”

Para ulama harus terus melakukan analisisnya terkait hadits tersebut. Mereka tidak memaknainya secara harfiah.

Imam Ahmad berpendapat, hal yang membatalkan sholat hanyalah karena ada anjing hitam yang lewat. Sementara untuk hewan himar dan perempuan, dia tidak berkomentar apa pun. Dia hanya mengatakan, “Wa fi qalbi minal himar wal mar’ah syaiun” atau “Dalam hal himar dan perempuan ada sesuatu.”

Mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Asy-Syafi’I menolak makna literal hadits tersebut. Mereka mengatakan “Sholat seseorang tidak menjadi batal gara-gara lewatnya tiga hal itu dan tidak pula yang lainnya.” Kemudian mereka memberikan analisis lain, arti membatalkan atau yaqtha’u adalah kurang menenangkan hati.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement