Selasa 15 Dec 2020 05:33 WIB

Ironi CItra Politik Islam: Dari Masyumi, NU, FPI, Hingga HTI

Ternyata dalam sejarah Indonesia kepemimpinan tokoh Islam paling berhasil

Suasana pemungutan suara di Pemilu pertama Indonesia, 1955.
Foto:

Tuduhan anti NKRI dan anti Pancasila itu pasti dialamatkan pada dua hal. Pertama, pada aspirasi di sidang BPUPK dan Konstituante.Kedua, pada keberadaan lembaga semacam Hizbut Tahrir Indonesia ataupun FPI.

Untuk hal pertama, penjelasannya sederhana. Pertama, itu adalah lembaga resmi dan sah. Kedua, itu adalah proses formasi awal negara Indonesia. Ketiga, proses itu sudah tuntas setelah lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang kemudian diterima secara bulat dalam sidang DPR.

Semua fraksi partai Islam yang di Konstituante memperjuang dasar negara Islam menerima secara bulat dekrit tersebut, setelah mendapat penjelasan dari Djuanda, perdana menteri saat itu yang kader Muhammadiyah.

Dekrit Presiden tersebut merupakan solusi final tentang makna Pancasila dan UUD 1945. Dalam dekrit tersebut, pada poin menimbang, dijelaskan bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945 tersebut.

Poin menimbang ini pula yang dikemukakan dalam Keppres tentang hari lahir Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi.

Namun orang sering terlewat memahami konsideran menimbang tersebut. Padahal dalam hukum, konsideran menimbang merupakan pijakan hukum atas suatu ketetapan hukum.

Sebagian orang hanya melihat Dekrit tersebut dari segi isinya saja, yaitu tentang pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945, tidak berlakunya UUDS 1950, dan segera dibentuknya MPRS dan DPAS.

Karena itu, jika kita cermat mempelajari kebijakan Sukarno pada masa Demokrasi Terpimpin, sangat kental dalam mengintegrasikan Islam dalam praktik bernegara. Yang paling mencolok adalah Presiden Sukarno mengadakan peringatan Maulid Nabi, Isra Mi’raj, dan Nuzulul Quran di Istana Presiden, sebagai acara kenegaraan resmi.

Dalam program Manipol-Usdek maupun dalam program pembangunan semesta berencana – mulai saat itulah kata “pembangunan” digelorakan – pembangunan masjid, pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, dan sebagainya juga menjadi bagian dari program.

Hal itu bisa dibaca pada dokumen-dokumen resmi masa Demokrasi Terpimpin. Jangan lupa, pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan di masa Demokrasi Terpimpin ini.

Di masa Orde Baru – walau di awal berjarak dengan Islam, baca pada tulisan pertama – apa yang sudah dilakukan Sukarno tetap dilanjutkan oleh Soeharto.

Di masa Munawir Sjadzali menjadi menteri agama, dilakukan kodifikasi hukum Islam ke dalam hukum nasional/hukum positif dan pembentukan peradilan agama. Semua itu merupakan bagian dari pelaksanaan Dekrit Presiden tersebut. Karena itu, sudah tak relevan lagi tuntutan dasar negara Islam ataupun NKRI bersyariat.

Tuntutan semacam itu menunjukkan ketakpahaman terhadap realitas, ahistoris, dan egoisme menuntut eksklusivitas. Indonesia sebagai negara Pancasila merupakan fakta terbaik bagi bangsa dan negara Indonesia.

Untuk selanjutnya, silakan memperjuangkan aspirasinya di lembaga-lembaga yang ada dan melalui saluran-saluran yang ada. Indonesia bukanlah negara sekular, tapi juga bukan negara agama. Tuntutan untuk menjadi keduanya sama-sama ahistoris.

Adapun tentang HTI ataupun FPI merupakan dinamika sosial belaka. Di setiap masyarakat selalu ada yang di ujung ekstrem. Jumlah mereka sangat kecil. Sama seperti tetap adanya kelompok yang menuntut Indonesia menjadi negara sekular dan tuntutan-tuntutan liberal kanan lainnya.

Sedangkan mayoritas umat Islam justru telah tuntas dalam hal dasar negara Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan kajian-kajian tentang Pancasila di masa reformasi ini memasuki babak baru, khususnya dari lingkungan NU yang terbiasa berpolitik dengan pendekatan fikih.

Hal ini bisa dibaca pada buku-buku tentang Pancasila dan UUD 1945 yang ditulis oleh para kiai, seperti yang ditulis KH Masdar F Mas’udi dan KH Afifuddin Muhajir. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement