Selasa 15 Dec 2020 05:33 WIB

Ironi CItra Politik Islam: Dari Masyumi, NU, FPI, Hingga HTI

Ternyata dalam sejarah Indonesia kepemimpinan tokoh Islam paling berhasil

Suasana pemungutan suara di Pemilu pertama Indonesia, 1955.
Foto:

 

Catatan sangat ringkas itu menunjukkan perjalanan sejarah bangsa yang gagal dalam setiap rute jalan hegemoni. Kegagalan itu terjadi secara politik maupun secara ekonomi. Selalu berakhir pada keruntuhan, bahkan tumpahnya darah.

Hal ini semestinya menjadi pelajaran yang baik bagi bangsa ini untuk tak memaksakan egonya.

Dalam jejak Islam juga ada upaya untuk melakukan hegemoni, dan selalu gagal dicapai. Pertama, Piagam Jakarta. Kedua, sidang Konstituante. Keduanya menyangkut dasar negara. Kekuatan politik Islam menghendaki Islam mendapat kedudukan khusus, menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Piagam Jakarta yang lahir 22 Juni 1945 terpental dalam waktu singkat, hanya dua bulan kurang empat hari. Putusan resmi BPUPK tertolak hanya melalui pesan opsir Jepang ke Hatta dari orang yang tak ingin dibuka identitasnya.

Sukarno sebagai inisiator dan ketua Tim 9 yang melahirkan Piagam Jakarta adalah orang yang berjuang keras agar kesepakatan itu disetujui sidang BPUPK, bahkan ia melakukan gerilya satu per satu hingga subuh agar piagam tersebut disetujui.

Menurutnya, piagam tersebut merupakan sebaik-baiknya kompromi. BPUPK kemudian menyetujuinya. Karena itu, hampir dua bulan kemudian, opsir Jepang tersebut lebih memilih menemui Hatta.

Setelah memanggil Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo, Piagam Jakarta mengalami koreksi dengan menghapus tujuh kata yang memberi hak istimewa bagi umat Islam. Hanya dalam waktu 15 menit, sidang PPKI menyetujui perubahan itu pada 18 Agustus 1945.

Umat Islam memilih persatuan daripada lepasnya sebagian wilayah di Indonesia Timur yang saat itu sudah diduduki pasukan Sekutu.

Perjuangan seluruh kekuatan politik Islam di badan yang juga legitimate, Konstituante, juga gagal. Bukan hanya gagal meraih 2/3 suara seperti yang dipersyaratkan, tapi juga gagal meraih 50 persen suara.

Fakta-fakta ini sebetulnya sudah cukup menjadi realitas bahwa walau agama Islam dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia tapi tak semua menghendaki Islam menjadi dasar negara.

Namun dalam masyarakat selalu ada yang berada di ujung pendulum, maka lahirlah residu seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Aceh. Residu itu terus berlanjut hingga kini, walau makin jauh menyusut.

Sebetulnya, sejarah politik Islam di Indonesia adalah sejarah gemilang. Dalam sejarah Indonesia, pemerintah yang dipimpin wakil santri mengukir sejarah yang baik. Indonesia mencatat beberapa kali ‘wakil Islam’ memimpin pemerintahan.

Pertama, Kabinet Natsir (6 September 1950 – 27 April 1951). Kedua, Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952). Ketiga, Kabinet Burhanuddin (12 Agustus 1955 – 24 April 1956). Keempat, Pemerintahan Habibie (21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999). Kelima, Pemerintahan Gus Dur (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001).

Lima pemerintahan mereka singkat-singkat saja, namun dengan prestasi mengkilap. Dalam isu-isu pluralisme dan demokrasi, lima pemerintahan ini telah mempraktikkannya dengan baik.

Burhanuddin dan Habibie berhasil menyelenggarakan pemilu pada 1955 dan 1999 sebagai pemilu yang bersih dan demokratis. Dua pemilu ini dicatat dengan tinta emas.

Sebagai figur yang mengembalikan sistem NKRI dalam praktik kenegaraan Indonesia, Natsir juga berhasil menjadikan Indonesia sebagai anggota PBB. Jangan tanya lagi ihwal jiwa demokratis dan jiwa pluralis seorang Gus Dur. Gus Dur akan selalu dikenang sebagai presiden yang sangat memperhatikan aspirasi Tionghoa dan kaum marjinal lainnya.

Istana Presiden di masa Gus Dur tidak lagi menegangkan. Habibie juga dicatat sebagai presiden yang membebaskan semua tahanan politik, yang bahkan orang-orang itu dipastikan akan beroposisi terhadapnya. Ia juga yang membuka kebebasan pers.

Habibie yang sangat berpikiran Barat itu memang seorang demokrat sejati. Demonstrasi yang terjadi tiap hari, tak membuat ia harus menindasnya. Melalui pendekatan matematisnya, ia juga bisa memulihkan ekonomi Indonesia yang hancur menjadi pulih dengan cepat.

Para tokoh Masyumi juga dikenal sebagai figur-figur bersih dan bersahaja, yang jauh dari korupsi. Baju Natsir dicatat sejarah penuh tambalan. Prawoto yang pernah menjadi wakil perdana menteri dan ketua umum Masyumi tak memiliki rumah.

Di bidang ekonomi, mereka seirama sejalan memperjuangkan pemerataan ekonomi dan keadilan sosial melalui penguatan UMKM dan kuatnya ekonomi nasional.

Semua praktik pemerintahan dan bernegara oleh ‘wakil-wakil umat’ tersebut tak seirama dengan citra yang dibangun para pesaing politiknya. Islam selalu digebah dengan isu anti NKRI, anti demokrasi, dan anti Pancasila. Hal yang justru tak pernah dilakukan oleh lima pemerintahan tersebut.

Justru lima pemerintahan tersebut paling konsisten melaksanakan garis ideologi Pancasila dan dalam mewujudkan amanat UUD 1945. Mereka tak menjual aset negara, tak menjual BUMN, tak menjadikan Indonesia sebagai satelit dan subordinat negara lain, tak menggadaikan sumberdaya alam, tak mewariskan kekayaan hasil korupsi, tak membangun dinasti, tak menjadikan lawan politiknya sebagai musuh yang harus dilenyapkan, dan sebagainya.

Garis perjuangan untuk membangun UMKM dan menguatkan ekonomi nasional juga menunjukkan keberpihakan pada kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia.

Tantangan Indonesia sejak dulu hingga kini adalah distribusi ekonomi yang timpang. Seperti kata Acemoglu dan Robinson, dalam bukunya yang sangat terkenal “Mengapa Negara Gagal”, pertarungan sesungguhnya dalam perebutan kueh ekonomi justru terjadi di legislasi dan kebijakan politik.

Kegagalan mewujudkan ekonomi yang inklusif membuat sejumlah negara menjadi negara gagal. Hal itu nyata sekali saat pemulihan krisis ekonomi 1997-1998, 2009, dan kini di masa pandemi: ke mana dana-dana APBN dialirkan dan berapa yang didapatkan masing-masing. Follow the money, itulah prinsip sederhananya.

Namun prestasi prima mereka tak segaris dengan citra yang dilekatkan sebagai anti NKRI, anti Pancasila, dan anti demokrasi. Hal itu terus dipidatokan dan dipropagandakan, apalagi di era medsos saat ini sehingga orang lupa pada fakta bahwa terpuruknya Indonesia karena kekayaannya digarong terus menerus. Mengapa nasib politik Islam seperti ini?

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement