"Kami bukan masalahnya, kami adalah bagian dari solusi. Pemerintah seharusnya tidak diizinkan mengeluarkan undang-undang baru terkait teror selama periode itu. Untuk mencegah reaksi tergesa-gesa yang hanya akan semakin membatasi kebebasan kita," ujarnya.
Sementara itu, pemerintah menyangkal Islam menjadi sasaran. Dia mengatakan beberapa masjid menyebarkan ujaran kebencian secara online.
Dia mengutip Masjid Agung Pantin di pinggiran timur laut Paris. Masjid tersebut telah mengeluarkan video yang mengutuk guru sejarah Samuel Paty karena dia telah menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelas. Pada Oktober lalu, seorang Muslim Chechnya berusia 18 tahun dari Rusia membunuh Paty karena karikatur tersebut.
"Kami tidak islamofobia. Kami hanya mencoba untuk menegakkan nilai-nilai republik kami," kata juru bicara Istana Elysee kepada DW selama konferensi pers baru-baru ini.
Juru bicara tersebut mengatakan, pemerintah sedang memantau Generasi Identitaire. Ia menyebut pemerintah tidak akan pernah membiarkan musuh Republik berkembang di Prancis.
Akan tetapi, Francois Burgat tidak percaya pemerintah netral dalam hal agama. Burgat adalah seorang ilmuwan politik di Institut Penelitian dan Kajian Dunia Arab dan Muslim di kota selatan Marseilles.
"Macron telah memasuki fase baru. Dia mengambil tindakan yang diperlukan untuk menyenangkan sayap kanan dan sayap kanan-jauh, karena dia membutuhkan suara mereka dalam pemilihan presiden 2022," kata Burgat.
Burgat mengatakan, Macron akhirnya harus menerima negara itu memiliki tanggung jawab dalam hal radikalisasi. Menurutnya, Muslim sering mendapatkan diskriminasi di pasar kerja dan merasa dikesampingkan di negara itu.
"Hal itu mendorong mereka menjadi radikal. Menyadari hal itu akan membantu kami melawan setidaknya radikalisasi yang terjadi di tanah kami sendiri," tambahnya.
https://www.dw.com/en/french-muslims-say-radical-islamism-law-is-discriminatory/a-55876637