REPUBLIKA.CO.ID, Pada 2018, tingkat pembatasan pemerintah terhadap agama secara global melalui undang-undang, kebijakan, dan tindakan pejabat yang melanggar keyakinan dan praktik agama terus meningkat.
Pembatasan ini mencapai titik tertinggi sepanjang masa sejak Pew Research Center mulai melacak tren ini di 2007.
Hasil penelitian yang dipublikasikan di laman Pew Research Center pada November 2020 mengungkapkan data hasil penelitian tren pembatasan pemerintah terhadap kelompok agama di sejumlah negara dan kawasan.
Peningkatan dari tahun ke tahun dari 2017 ke 2018 relatif kecil, tetapi ini berkontribusi pada peningkatan substansial dalam pembatasan pemerintah terhadap agama selama lebih dari satu dekade.
Pada 2007, tahun pertama studi, skor median global pada Indeks Pembatasan Pemerintah (skala 10 poin berdasarkan 20 indikator) adalah 1,8. Setelah beberapa fluktuasi di tahun-tahun awal, skor median terus meningkat sejak 2011 dan sekarang berada di angka 2,9 pada 2018.
Peningkatan pembatasan pemerintah mencerminkan berbagai kejadian di seluruh dunia, termasuk peningkatan dari 2017 hingga 2018 ada sejumlah pemerintah yang menggunakan kekerasan seperti penahanan dan penganiayaan fisik untuk memaksa kelompok agama.
Jumlah total negara dengan tingkat pembatasan pemerintah tinggi atau sangat tinggi juga meningkat. Baru-baru ini, angka tersebut naik dari 52 negara (26 persen dari 198 negara dan wilayah yang termasuk dalam studi) pada 2017 menjadi 56 negara (28 persen) pada 2018. Angka terbaru mendekati puncak 2012 di dua tingkatan teratas dari Indeks Pembatasan Pemerintah.
Pada 2018, sebagian besar dari 56 negara dengan tingkat pembatasan pemerintah yang tinggi atau sangat tinggi terhadap agama berada di kawasan Asia-Pasifik (25 negara atau setengah dari semua negara di kawasan itu) atau kawasan Timur Tengah-Afrika Utara (18 negara atau 90 persen dari semua negara di kawasan).
Dari lima wilayah yang diteliti dalam studi tersebut, Timur Tengah dan Afrika Utara tetap memiliki tingkat pembatasan pemerintah median tertinggi pad 2018 (6,2 dari 10).
Namun, Asia dan Pasifik mengalami peningkatan terbesar dalam skor pembatasan pemerintah mediannya, naik dari 3,8 pada 2017 menjadi 4,4 pada 2018, sebagian karena lebih banyak pemerintah di kawasan ini menggunakan kekerasan terhadap kelompok agama, termasuk kerusakan properti, penahanan, pemindahan, pelecehan dan pembunuhan.
Secara total, 31 dari 50 negara (62 persen) di Asia dan Pasifik terjadi kekerasan oleh pemerintah pada kelompok agama, naik dari 26 negara (52 persen) pada tahun 2017. Peningkatan tersebut terkonsentrasi pada kategori level rendah dari penggunaan kekuatan pemerintah (antara satu dan sembilan insiden selama tahun ini). Pada 2018, 10 negara Asia Pasifik termasuk dalam kategori ini, naik dari lima tahun sebelumnya.
Di Armenia misalnya, seorang anggota terkemuka dari kepercayaan Baha'i ditahan atas dasar agama, menurut anggota komunitas. Di Filipina, tiga misionaris Gereja Metodis Bersatu dipaksa meninggalkan negara itu atau menghadapi masalah dengan visa setelah mereka terlibat dalam penyelidikan pelanggaran hak asasi manusia dalam misi pencarian fakta
Namun wilayah tersebut juga menyaksikan beberapa contoh penggunaan kekuatan pemerintah yang meluas terhadap kelompok-kelompok agama. Di Burma (Myanmar), pengungsian besar-besaran agama minoritas terus berlanjut.
Sepanjang tahun ini, lebih dari 14.500 Muslim Rohingya dilaporkan Human Rights Watch telah melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh untuk menghindari kekerasan, dan setidaknya 4.500 Rohingya terjebak di daerah perbatasan yang dikenal sebagai tanah tak bertuan. Mereka diganggu oleh pejabat Burma yang mencoba membuat mereka menyeberang ke Bangladesh.
Selain itu, pertempuran antara militer Burma dan organisasi etnis bersenjata di negara bagian Kachin dan Shan menyebabkan pengusiran agama minoritas lainnya, kebanyakan Kristen.
Sementara itu di Uzbekistan, diperkirakan setidaknya 1.500 narapidana Muslim tetap berada di penjara atas tuduhan ekstremisme agama atau keanggotaan dalam kelompok terlarang.