Ahad 06 Dec 2020 05:57 WIB

Ternyata Larangan Hina Agama Dibenarkan Sarjana Barat

Sarjana Barat membenarkan larangan menghina agama di dunia

Muslim Inggris melakukan aksi protes menentang penayangan gambar kartun Nabi Muhammad SAW. (ilustrasi)
Foto: EPA/Christopher Pledger
Muslim Inggris melakukan aksi protes menentang penayangan gambar kartun Nabi Muhammad SAW. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Karena banyaknya ktitik terhadap pelaksanaan hukum antipenodaan agama (religious defamation atau religious blasphemy) di negara-negara Muslim, maka negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengusulkan pembahasan persoalan ini kepada Komisi HAM PBB. Perdebatan dan resolusi Komisi HAM PBB pun terjadi pada 2002, 2003, 2004, dan 2005. 

Perdebatan juga terjadi dalam Dewan HAM dan Sidang Umum PBB pada 2007, 2008, dan 2009. Hasilnya, negara-negara yang mendukung lebih banyak dibandingkan yang menolak. Dalam Sidang Umum PBB 2009, misalnya, 80 negara mendukung, 61 negara menolak, dan 42 abstain terhadap resolusi antipenodaan agama.  

Baca Juga

Semua negara Muslim memiliki hukum antipenodaan agama dan mempertahankannya dalam perdebatan tersebut. Hal ini tidak terlepas dari watak dan sejarah Islam yang mendapat jaminan bahwa Allah akan menjaga kemurnian ajarannya: 

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS al-Hijr: 9), sehingga pemeliharaan agama merupakan salah satu dari lima keniscayaan (dharuriyyat al-khams). 

Konsekuensinya, setiap Muslim wajib menjaga kehormatan agama dan menolak penyimpangan. Bahkan, teori hukum Barat pun membenarkan ini, sebagaimana dinyatakan Oemar Senoadji (1975), yakni (a) Religionschutztheorie (teori perlindungan terhadap agama), (b) Gefuehlschutztheorie (teori perlindungan terhadap perasaan keagamaan, dan (c) Friendenschutztheorie (teori perlindungan kedamaian dalam beragama).  

Meski Amerika Serikat dan Uni Eropa menolak hukum ini, kenyataannya hanya Inggris yang sudah menghapus, yakni Toleration Act 1689 dan Blasphemy Act 1698 yang digantikan dengan Criminal Justice and Immigration Act 2008.

Kini, masih banyak negara Eropa yang mempertahankan, yakni Austria, Denmark, Finlandia, Yunani, Italia, Irlandia, Belanda, dan Jerman di samping Spanyol, Portugal, dan Slovakia. Juga, sejumlah negara di Eropa, seperti Rusia, Prancis, Swiss, Jerman, dan Yunani kini masih melarang atau membatasi aktivitas aliran keagaman tertentu, seperti Mormon, Saksi Yehova (Yehuwa) atau Scientology, serta aliran kepercayaan (cults) lain. Diskriminasi terhadap mereka pun terkadang masih terjadi sampai saat ini. 

Dalam konteks ini, Indonesia termasuk negara yang tetap mempertahankan hukum antipenodaan agama, yakni PNPS No 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a KUHP. Pasal ini berasal dari PNPS No 1/1965 yang dikuatkan melalui UU No 5/1969. Namun, di era reformasi keberadaan hukum antipendoaan agama dipertanyakan oleh kelompok agama, intelektual, maupun pihak asing. 

Alasan penolak karena hukum ini membatasi hak kebebasan beragama meski ada yang hanya menolak hukum antipenodaan dalam arti penyimpangan, tetapi tetap menyetujui dalam arti penghinaan agama. Pada 2009, sejumlah kelompok agama dan aktivis LSM mengajukan judicial review terhadap PNPS. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak usulan uji materi itu melalui putusannya No 140/PUU-VII/2009 dengan alasan PNPS ini tidak membatasi kebebasan beragama. Sebaliknya, UU ini melarang mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan atau penodaan agama atau pokok ajaran agama yang ada di Indonesia. Tanpa regulasi semacam ini, dikhawatirkan akan muncul kekerasan atau aksi sepihak terhadap pelaku penodaan agama. 

Sedangkan alasan tetap menyetujuinya, yang mayoritas, karena hukum ini sejalan dengan sila pertama Pancasila. Dalam negara ini, hukum antipenodaan agama masih perlu dipertahankan dengan tetap mengacu pada sistem demokrasi.

Negara tak hanya wajib melindungi kebebasan beragama, tetapi juga melindungi hak pemeluk agama untuk menjaga kebenaran (kemurnian) ajaran agamanya. Kebebasan beragama harus dilindungi selama ajarannya tidak merugikan atau mengganggu pihak lain dalam bentuk penghinaan maupun penyimpangan dari pokok ajaran agama.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement