REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menggelar Musyarawah Nasional (Munas) pada 25-27 November 2020 di Hotel Sultan, Jakarta. Munas MUI yang ke-10 ini mengangkat tema utama “Meluruskan Arah Bangsa dengan Wasathiyatul Islam, Pancasila, serta UUD NKRI 1945 Secara Murni dan Konsekuen”.
Namun, yang menjadi fokus utama Munas adalah Islam wasathiyah atau moderasi Islam, yang harus terus menerus diarusutamakan di Indonesia. Wakil Sekretaris Jenderal MUI Bidang Pendidikan dan Kaderisasi MUI, Amirsyah Tambunan mengatakan, tema Munas tahun ini sengaja dirancang untuk meluruskan arah bangsa dengan Islam moderasi, Pancasila dan UUD.
“Tema ini memang refleksi lima tahun kerja MUI ke depan, bagaimana MUI bersama umat dan pemerintah untuk membangun bangsa yang searah dengan nilai Pancasila juga membangun pemahaman umat dengan Islam moderat yang rahmatan lil alamin atau Islam yang mampu mewujudkan keadilan,” kata Amirsyah dalam siaran pers yang diterima Republika, Rabu (25/11).
Amirsyah menjelaskan, ada beberapa agenda yang akan dibahas dalam Munas MUI kali ini. Di antaranya, membahas penyempurnaan pedoman dasar rumah tangga dan membahas garis besar program kerja lima tahun ke depan.
Selain itu, Munas MUI juga membahas soal fatwa yang menyangkut banyak hal, termasuk mengenai haji, zakat, dan hal lain, serta tentang rekomendasi dalam dan luar negeri, sehingga dunia Islam bisa bersinergi untuk mewujudkan perdamaian.
Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, KH Cholil Nafis mengatakan, MUI sebagai payung besar umat Islam harus bisa menaungi, melayani, dan mendukung kepentingan umat. Namun, menurut dia, MUI juga sebagai mitra pemerintah.
“Mitra itu bukan musuh, tapi teman. Teman itu mengingatkan teman jika ada yang salah. Tidak selamanya MUI mendukung pemerintah, adakalanya juga MUI memberikan kritik dan masukan jika pemerintah melenceng, karena MUI bukan eksekutor, jika kebijakan pemerintah benar ya kami dorong,” jelasnya.
Selain membahas program, Munas MUI ini juga akan memilih ketua umum dan kepengurusan untuk periode 2020-2025. Menurut Kiai Cholil, posisi ketua umum biasanya diisi kader dari NU atau Muhammadiyah.
Ada beberapa nama yang santer disebut akan menjadi kandidat calon ketua umum MUI. Beberapa nama yang beredar dari NU adalah Rais Aam PBNU KH Miftakhul Ahyar dan Prof Nasaruddin Umar. Sedangkan dari Muhammadiyah muncul lagi nama Syafiq Mughni dan KH Muhyiddin Junaidi.
“Mungkin sosok Kiai Miftah sebagai Rais Aam PBNU, dan tradisi yang berlaku Rais Aam itu sudah pasti jadi ketua umum. Orang berpikir yang jadi ketum itu Rais Aam berikutnya. Masuk Rais Aam kan sudah terkualifikasi maka otomatis beliau mendapat apresiasi,” kata Kiai Cholil.
Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam menambahkan, pihaknya juga sudah menyiapkan lima draft fatwa yang nanti akan dibahas dalam Munas MUI tersebut, khususnya yang berkaitan dengan haji dan umrah.
“Saya sudah menyiapkan lima draf fatwa kesehatan haji dan umroh, yaitu pemanfaatan vaksin, penggunaan masker bagi jamaah saat ihram, pendaftaran haji yang berasal dari utang, pendaftraan haji pada saat usia masih belia, dan penundaan pendaftraan haji bagi orang yang sudah mampu,” ungkapnya.
Munas MUI ke-10 dibuka lansung oleh Presiden Joko Widodo secara daring pada Rabu (25/11) malam. Agenda penting di Munas MUI ini adalah pemilihan ketua umum MUI dan dewan pimpinan MUI periode 2020-2025, serta pemilihan ketua dewan pertimbangan MUI periode 2020-2025.
Dalam Munas MUI ini juga ada agenda pertanggung jawaban pengurus MUI periode 2015-2020, menyusun garis-garis besar program kerja nasional 2020-2025, menetapkan perubahan pedoman dasar dan pedoman rumah tangga MUI, serta menetapkan fatwa.
Selain itu, para peserta Munas juga akan membahas dan memutuskan berbagai rekomendasi MUI untuk kemajuan dan kemaslahatan umat, bangsa dan negara. Rekomendasi ini menjadi salah satu sumbangsih pemikiran MUI.