REPUBLIKA.CO.ID, JATINANGOR – Kondisi Al-Aqsha yang tampak “baik-baik saja” di balik potret para turis selama ini, tersembunyi sisi kekejaman dan kejahatan Israel kepada warga Palestina. Hal ini mendasari Solidarity of Muslims for Al-Aqsha Retaken (SMART171) bergerak untuk mengadakan event Al-Aqsa Awareness Week (AAW) pada Senin (26/10).
Meskipun dilaksanakan secara virtual melalui live streaming YouTube SMART171, tak menyurutkan antusiasme 500 peserta yang mengikuti acara tersebut. Acara dibuka oleh Maimon Herawati, Ketua SMART171. Ia menjelaskan bahwa semakin hari, tindakan Israel untuk mencaplok dan mengklaim wilayah Palestina semakin gencar.
“Perjuangan untuk mempertahankan Al-Aqsha dan Jerussalem sebagai tanah suci umat muslim semakin sulit. Baru-baru ini, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan beberapa negara Timur Tengah lain melakukan upaya normalisasi hubungan dengan Israel. Tindakan normalisasi ini sangat mengecewakan bagi masyarakat Palestina dan umat muslim di seluruh dunia,” kata Maimon.
Maimon berharap hadirnya rangkaian acara AAW, semua informasi dan isu-isu yang terasa jauh tentang Palestina dan Al-Aqsha menjadi dekat dengan masyarakat Indonesia, sehingga kita dapat bergerak dan berkontribusi membantu Palestina.
Nur Aulia, salah seorang peserta acara asal Bekasi, mengutarakan bahwa ia sangat tersentuh dan bersemangat mengikuti kegiatan ini.
“Saya sangat senang karena banyak sekali ilmu yang bisa didapat dari materi yang dibahas. Banyak ilmu baru yang saya dapat, seperti baru tahu kalau di sana ternyata Israel sejahat itu sampai merakayasa fakta yang terjadi agar pengunjung atau turis berpikir bahwa Israel itu baik dan cinta damai. Padahal, dibalik pencitraan itu Israel menindas masyarakat Palestina. Saya berharap semoga Al-Aqsha Awareness Week ini jadi jalan bagi saya dan teman-teman lain untuk memberikan kontribusi nyata bagi Palestina,” jelasnya.
AAW menyuguhkan beberapa acara yang menarik, diantaranya pembacaan puisi, “virtual tour” Al-Aqsa, dan “sharing session” dengan Rahmadianti, seorang penulis sekaligus traveler yang menceritakan pengalamannya mengunjungi Al-Aqsha secara langsung.
Peserta diperlihatkan video seseorang yang berjalan di sekitar daerah Al-Aqsha, sehingga serasa peserta sedang berjalan-jalan di Al-Aqsha. Video itu menunjukkan situasi Al-Aqsha mulai dari gerbang masuk hingga ke Masjid Qibli (Masjid Al-Aqsha). Para peserta antusias mengikuti tur singkat melalui video tersebut, terlihat dari kolom chat saat live streaming berlangsung.
Keseruan tersebut disampaikan oleh Noer Djanius Shafitri, seorang peserta asal Medan.
“Seru banget bisa jalan-jalan secara virtual keliling Al-Aqsha. Acaranya juga bagus karena mengundang pemateri yang langsung datang ke Al-Aqsha. Jadi kita bisa tahu situasi dan kondisi di sana. Juga tahu tentang apa yang masyarakat Palestina butuhkan dari kita,” ujarnya.
Acara dilanjutkan dengan sesi “sharing” oleh Rahmadianti, yang sering disapa Dian. Bertema “Dalam Dekapan Baitul Maqdis,” Dian menceritakan pengalamannya berkunjung ke tanah suci bagi tiga umat beragama itu. Ia menghabiskan waktu selama 4 hari 3 malam di sekitar Al-Aqsha dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sana.
“Saya memulai perjalanan menuju Al-Aqsha dari Jericho, sebuah kota perbatasan antara Palestina dan Yordania yang menjadi pintu gerbang menuju Palestina. Kemudian saya berkunjung ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha) dan tempat-tempat bersejarah di sana. Lalu sempat juga mengunjungi Kota Al-Khalil (Hebron), sebuah kota yang dilumpuhkan secara sistematis oleh Israel agar para warganya menyingkir,” jelas Dian.
Masjid Al-Aqsha
Ketika Dian mengunjungi Masjid Al-Aqsha, hal pertama yang ia rasakan adalah penjagaan yang sangat ketat oleh tentara Israel. Untuk masuk ke dalam Masjid Al-Aqsha harus mengantre cukup lama. Mayoritas individu yang mengantre adalah pria atau wanita lanjut usia. Pria atau wanita muda, terutama bila mereka merupakan warga Palestina jarang sekali diberikan izin untuk masuk kedalam Masjid Al-Aqsha untuk beribadah.
Masjid Al-Aqsha atau dikenal dengan Masjid Qibli berkapasitas 5,000 jamaah. Namun Dian mengatakan, selama 3 hari melaksanakan shalat Shubuh dan Dzuhur di sana, hanya sedikit jamaah yang shalat di sana. Ini disebabkan pelarangan yang sangat ketat oleh tentara Israel mengenai siapa yang bisa masuk ke dalam masjid tersebut.
“Pernah pada suatu pagi, ketika saya akan masuk ke Masjid Al-Aqsha untuk salat Shubuh, saya dihadang oleh tentara Israel dan tidak diberi izin untuk masuk karena saya memakai syal dengan bendera Indonesia dan Palestina. Di saat itu, saya sadar bahwa mereka sangat takut dengan simbol-simbol yang berhubungan dengan Palestina masuk ke dalam Masjid Al-Aqsha karena akan mengobarkan semangat juang umat muslim untuk kembali menguasai Masjid Al-Aqsha,” jelasnya.
Dian menambahkan, meskipun tidak banyak orang yang diizinkan oleh tentara Israel masuk ke dalam Masjid Al-Aqsha, saat berada di dalamnya ia melihat suasana tetap hidup dengan aktivitas para jamaah yang mengaji, shalat, dan mendirikan majelis ilmu.
Setelah mengunjungi Masjid Al-Aqsha, Dian melanjutkan perjalanannya ke Kota Hebron, sebuah kota dekat dengan Masjid Al-Aqsha. Kota ini sudah lebih dari 20 tahun dikunci dan dimarjinalkan oleh Israel. Ketika ia berkunjung ke sana, hampir semua toko dan usaha milik warga Palestina tidak diizinkan untuk melakukan kegiatan ekonomi tanpa alasan yang jelas. Bahkan, Israel secara sengaja menghancurkan jalanan aspal dan memasang tiang kawat di beberapa titik kota tersebut untuk mencoba mengusir warga Palestina dari Kota Hebron untuk pergi agar Israel bisa menguasainya.
Di akhir, Dian berpesan kepada para peserta, khususnya para millenial untuk terus memupuk rasa ingin tahu dan rindu kepada Al-Aqsha dan Palestina. Terlepas dari jarak yang memisahkan Indonesia dan Palestina, ia mengutip perkataan Umar Al-Kiswani, Direktur Dewan Wakaf Al-Aqsha bahwa yang paling dibutuhkan oleh Al-Aqsha bukanlah bantuan finansial, tetapi Individu-individu yang hadir ke sana, berinteraksi dengan masyarakat Palestina, memeluk mereka, dan memberitahukan kepada mereka bahwa kami siap membantu untuk tetap bersama masyarakat Palestina. Mereka membutuhkan dorongan moral untuk terus berjuang dan mempertahankan tanah suci ketiga bagi umat muslim sedunia.