REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA- Dktum “Islamofobia”. Diktum ini dalam dua dekade terakhir, telah membuat kita tak bisa tidur nyenyak. Islam dan pemeluknya kerap dipersalahkan, disudutkan, dan dijadikan stempel untuk hal-hal yang destruktif. Islamofobia akan selalu menjelma branding topic yang tiada henti.
Yang paling mutakhir dan berhubungan erat secara sublim dengan tradisi serta situasi keberagamaan kita adalah masalah tuduhan telah hilangnya toleransi, terutama dalam tradisi kehidupan umat beragama, di negeri ini. Tudingan sepihak yang sarat nuansa insinuasi itu muncul di forum tahunan HAM PBB.
Banyak di antara kita yang memiliki keyakinan sama bahwa tudingan itu telah sekian lama menjelma menjadi sebuah mindset di benak mereka, tetapi tengah menunggu justifikasi dari dalam negeri Indonesia sendiri. Laporan seputar Ahmadiyah, pendirian gereja Yasmin, Irshad Manji, dan Lady Gaga belakangan dijadikan alat melegalkan tudingan itu.
Di luar tema-tema itu, belakangan harmoni umat terancam tercabik-cabik lagi gara-gara diterbitkannya sebuah buku yang di beberapa halaman memuat hinaan serta pelecehan membabi buta terhadap Nabi Muhammad SAW. Beruntung aparat kepolisian segera mengambil tindakan dan pihak penerbit menyatakan penyesalan mendalam. Sehingga dengan begitu, kasusnya langusng diproses secara hukum.
Kini, sebagaimana selalu kita yakini akan datangnya kebenaran, terbitnya buku tersebut justru menunjukkan belangnya sendiri bahwa tudingan intoleransi Dewan HAM PBB kepada Indonesia tidak benar karena yang terjadi malah sebaliknya.
Bedanya, kalau tuduhan PBB itu dari dalam Indonesia dibawa keluar, sedangkan buku itu dari luar dibawa ke dalam Indonesia. Sudah barang pasti peristiwa ini secara signifikan telah menyadarkan umat Islam bahwa Islamofobia (kebencian terhadap Islam) memang riil adanya. Tidak bisa dibantah dan akan terus terjadi tiada henti.
Tahun 1963-1964, misalnya, betapa Allah SWT, Alquran, Rasulullah SAW dihujat habis-habisan secara terbuka melalui panggung lembaga kesenian rakyat —dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA), organisasi underbow PKI— yang kemudian melahirkan UU No 1/1965 tentang larangan penodaan agama.
Setelah Orde Lama, di zaman Orde Baru pun pernah terjadi penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW. Seorang pekerja pers pernah menempatkan Nabi Muhammad SAW di urutan ke-11, tepat satu peringkat di bawah namanya sendiri dalam kategori orang yang paling dikagumi.
Di zaman reformasi pun kita menemui, antara lain, usaha gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi agar UU No 1/65 dicabut berdasarkan HAM, sehingga menodai agama tidak dikenakan sanksi hukum. Islamofobia tidak akan hilang sepanjang masa, serta dilakukan secara komprehensif, sistematis, terukur dengan cermat, serta berkualitas sangat tinggi.
Kita perlu menyadarkan umat Islam secara terus-menerus tentang hal ini dengan jalan menyeimbangkan antara prinsip tasaamuh alias toleransi d lam bermuamalah dengan tetap menjaga tingkat kewaspadaan agar kita tidak diadu domba.
Meski masing-masing elemen dalam masyarakat Islam berbeda langkah tetap harus tetap memiliki kesamaan pandang dalam menghadapi persoalan yang akan menjadi warisan abadi kalau tidak ditangani dengan serius ini. Kita membutuhkan langkah aksi-mereaksi.
Tetapi, tentu saja cara mereaksinya haruslah lebih pintar, cerdas, dan tidak gegabah, karena begitu kita salah dalam mereaksi pancingan mereka, karena mereka telah menyiapkan jebakan baru yang lebih menyengsarakan umat dengan tuduhan-tuduhan baru juga.
Terlalu banyak angka untuk dideretkan apakah tudingan itu ditujukan untuk Islam atau semata kepada para pemeluknya. Satu yang pasti, kita akan selalu berdiri di garda terdepan membela kemurnian agama Islam.
Terlebih, aksi serangan Islamofobia bukan hanya menyangkut serangan terhadap ajaran Islam, namun juga pada bidang ekonomi, politik, pendi dikan, dan budaya, serta militer, bahkan membuat disintegrasi dan separatisme di sebuah negara NKRI yang dihuni mayoritas kaum Muslimin.
Bagi mereka menghujat agama merupakan bagian dari HAM, namun sebaliknya kalau kita menolak ateisme dianggap melanggar HAM. Aksioma serta frame pemikiran semacam ini harus terus dibendung. Kalau tidak, lama-lama tudingan itu akan berulang secara berkala pada forum yang sama, sesuai kebutuhan mereka yang terang-terangan membeci Islam dan pemeluknya.
Dalam kaitan mereaksi tudingan dan serangkaian rekayasa buruk mereka terhadap Islam, maka yang paling penting untuk mendapatkan perhatian kita semua adalah caranya alias thoriqah. Salah dalam memilih dan menggunakan cara, bisa sangat jauh kita melenceng dari tujuan awal.
“At-Thoriqatu ahammu minal maddah—cara lebih penting dari materi.” Kalau tujuan kita menghindarkan Islam dari tindak pelecehan, maka pantang kita menggunakan cara yang sama untuk menghindar dari aksi penghinaan. Hinaan dibalas dengan hinaan sama dengan melahirkan hinaan-hinaan baru. Apalagi kita meyakini bahwa Islam adalah rahmah bagi semesta alam.
*Naskah bagian dari artikel almarhum KH Hasyim Muzadi yang tayang di Harian Republika.
BACA JUGA: Tersinggung Berat Ucapan Macron, Kuwait Boikot Habis Produk Prancis