REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Pemerintah Prancis dan negara-negara Eropa lainnya mempercepat laju perlawanan melawan kelompok radikal serta asosiasi dan badan yang mendukung mereka. Namun, kebijakan itu meningkatkan tekanan pada komunitas Muslim di negara tersebut menyusul tindakan antiteroris yang keras.
Seperti diwartakan The Arab Weekly, Jumat (23/10), pada Rabu lalu kabinet Prancis mengumumkan pembubaran kelompok pro-Palestina Sheikh Yassin. Mereka dituduh memiliki hubungan dengan pembunuhan seorang guru sejarah di dekat Paris beberapa waktu lalu.
"Kami mengumumkan pembubaran kelompok Sheikh Yassin yang terlibat dan terkait dengan serangan dan untuk waktu yang lama itu adalah fasad palsu dari ideologi anti-republik yang menyebarkan kebencian," kata juru bicara pemerintah Prancis Gabriel Attal, Jumat (23/10).
Membubarkan kelompok tersrbut dinilai bisa menjadi langkah pertama dalam serangkaian tindakan yang ingin diambil Prancis untuk membongkar jaringan dukungan teroris. Attal mengatakan, Presiden Prancis Emmanuel Macron telah mengindikasikan selama sesi kabinet bahwa diirnya telah mengetahui pelaku serangan tersebut.
Dia melanjutkan, menurut Macron pelaku kejadian itu politik islam politik yang secara sistematis mendukung pembongkaran republik. Meski demikian, Macron menilai konfrontasi itu akan menjadi pertempuran keamanan, pendidikan dan budaya sehingga akan berlangsung lama.
Meski demikian, Muslim di Prancis menjadi sasaran atas berbagai tekanan media pada saat Paris seharusnya membedakan antara komunitas dan militan yang bersalah. Kelompok Sheikh Yassin didirikan oleh Abdul Hakim al-Safrioui, seorang militan yang telah diselidiki sejak Jumat lalu.
Selain pembubaran kelompok, masjid di Pantin, utara Paris, juga ditutup menyusul publikasi video di Facebook yang mengecam korban serangan teroris. Otoritas Prancis juga berjanji untuk mendeportasi semua orang ekstremis yang status kependudukannya telah habis.
https://thearabweekly.com/frances-anti-terror-measures-put-pressure-muslim-communities